Part 12 : Harap-harap cemas

270 12 0
                                    

Untuk memecah kesunyian ini, aku mengambil dua jaket Justin yang ada di kamarku, lalu ku kembalikan padanya 

"oya sampe lupa ini dua jaket lo. Sorry banget baru inget buat ngembaliin ini semua". 

"iya gak apa-apa Jess.." ucap Justin dengan singkat. 

Justin mengambil jaket-jaketnya yang ada di tanganku. Aku menatap Justin yang sedang menatapku juga. 

"Jess, gue kesini juga karena gue mau bilang sesuatu ke lo". 

"apa? bilang aja.." jawabku dengan harap-harap cemas. 

"liburan ini, gue akan balik ke Bali lalu kembali ke Australia, ke tempat keluarga besar gue berada. Jadi gue akan balik lagi kesini pas 5 hari sebelum keberangkatan kita ke Yogyakarta". 

Dia menjelaskan dengan nada terdengar rendah. Ini jelas-jelas selama kurang lebih 40 hari, aku tidak akan bertemu dengan dia.

Aku tidak bisa membayangkan betapa rindunya aku nanti. 

"oh gitu.. yaudah hati-hati ya. Jangan lupa oleh-olehnya hehe" jawabku dengan tawa palsu. 

Setelah itu Justin pamit pulang, dia menjabat tanganku dengan eratnya. Saat aku mau berbalik, dia malah menarik tanganku, lalu aku jatuh ke dalam pelukannya. Biasanya disaat-saat seperti ini pasti banyak pertanyaan yang mucul dibenakku. Tapi sekarang ini beda, pikiranku kosong. Aku hanya menikmati pelukannya yang hangat tanpa mempertanyakan mengapa ia memelukku. Lagian selama pelukan berlangsung, Justin juga tidak mengucapkan satu patah katapun.

Hembusan napasnya terasa di leherku. Akan banyak hal yang aku rindukan dari dirinya. Ia pun melepasku, dan melambaikan tangan untuk pamit pulang. Ketika ia pulang, aku baru ingat kalau sebelumnya aku ingin mengatakan sesuatu kepada Justin. Tapi karena hari ini benar-benar hancur, aku jadi tak ingat semua itu, bahkan Justin pun jadi not in the mood gara-gara ada makhluk tak diundang yang tiba-tiba main ke rumahku.

Padahal keberadaannya telah dilenyapkan oleh waktu, tapi aku masih saja berdiri di ambang pintu ini. Sekembalinya aku ke kamar, aku malah mengalirkan air mataku. Jelas-jelas Justin sudah mengetahui siapa seseorang yang ada di hatiku saat ini, tapi mengapa ia masih tidak mempertanyakannya. 

Rasa tidak percaya menyelimutiku. Pernyataan yang tidak ingin aku rasakan juga hadir. 

Mungkinkah dia tidak memiliki perasaan yang sama? apakah itu sebabnya dia tidak mempertanyakan perasaanku yang jelas-jelas diketahui olehnya?

air mata turun dari mata kananku, lalu jatuh ke pipi.

"gak, gue gak boleh mikir yang macem-macem!!" perintahku sendiri.

Pelukan tadilah yang menyadarkanku untuk membuang jauh-jauh pikiran negatif tentangnya. Masih berharap bahwa Justin akan menyadari perasaanku suatu saat nanti.

Aku kembali ke kamar, dan terdiam kembali. Dengungan angin membisikan kata-kata yang sempat diucapkan Justin saat bermain permainan Truth or Dare, yaitu Justin sedang menyukai cewek yang lebih tua darinya.

"Ya ampuuun.. baru tadi gue semangat, sekarang udah lesu lagi aja. Apa lagi yang harus gue perbuat?" tanyaku sambil terisak-isak.  

"apa jangan-jangan seseorang itu berada di Bali atau di Australia? Jangan-jangan mereka merencanakan untuk bertemu? Dan itu menjelaskan bahwa Justin tidak mempertanyakan seseorang yang ada di hatiku yang jelas-jelas dia sudah mengetahui orang itu adalah dia. TIDAAAAAK...!!!!" aku menangis sekencang-kencangnya.

*****

Keesokkan paginya, aku langsung menghadap kaca dan mendapati mukaku yang sembab seperti habis digampar berulang-ulang. 

"AAAAA MUKA GUEEEEEE!!". 

Seharian aku hanya berada di kamar saja. Aku hanya makan biskuit yang ada di kamarku, dan kebetulan aku punya kamar mandi sendiri di dalam kamar. Sampai-sampai mama memarahiku karena tidak ada aktivitas lain selain mengurung diri di kamar.

Sorenya aku menelpon Gisca, Vero, dan Milda. Aku menyuruh mereka untuk berkumpul di Starbucks, tempat hang-out seperti biasa. Untuk menghemat waktu, aku membawa mobil sendiri. Sesampainya disana aku memesan satu ice shaken lemon tea dan satu frappuccino. Orang kedua yang datang adalah Gisca. 

"Hi, Jess?" sapanya. 

"Hi Gis...caaaa" berusaha mengeluarkan senyum terbaikku. 

Dia langsung memesan satu cappuccino dan berlari ke arahku. 

"Jessy, oh my gosh dimana muka lo yang cantik ituuuu?" tanya Gisca dengan panik. 

"Gis..ca..." aku tiba-tiba tersedu. 

"Justin, bilang dia punya seseorang dihatinya, trus dia juga bilang orang itu lebih tua darinya. Trus dia juga bilang kalo dia bakal balik ke Bali dan Australia" jelas aku penuh dengan isakan. 

"cup..cup.. oh ternyata tentang Justin. Yaudah lo tenang aja. Dia gak akan tertarik sama orang lain dan dia pasti tau kok orang yang tepat buat dia itu lo karena lo itu kan suka sama dia dengan tulus. Lo juga gak sama kayak cewek-cewek yang suka sama Justin" Gisca menjelaskan dengan rinci lalu memelukku. 

"yaudah sekarang lo jangan nangis lagi. Muka lo udah sembab gitu tuh".

Aku malah tambah menangis mendengar wejangan dari Gisca. 

"ya ampun Jess.. lo kayak orang patah hati aja ah!" Gisca melempar pandangannya dengan melihat layar smartphonenya.

"gue emang lagi patah hati, Giscaaaaa"

Gisca hanya tertawa melihat mukaku yang bentuknya sudah tak karuan.

Disaat aku menghapus air mata, Milda dan Vero datang dengan hebohnya 

"Hi girls.. long time no see" tiba-tiba Milda kaget melihat mukaku yang sembab. 

"loh, muka lo kenapa Jess?" tanya Milda. 

"iya muka lo kenapa, Jess? Kayak abis nangis gitu?" lanjut Vero.

Gisca pun menjelaskan keadaanku kepada Milda dan Vero. 

"oh jadi gitu, yaudah Jess.. lupain sejenak lah. Kita have fun malam ini, okay!" Vero mengajak untuk cheers. 

"Ve, lo ngajak cheers tapi lo sendiri belum pesen minuman. Gimana sih lo sok asyik deh.." serentak kita tertawa terbahak-bahak. 

Akhirnya Milda lah yang memesankan Vero minum, satu s'mores frappuccino dan satu creamy lime pie. Kita berempat asyik mengobrol tentang segala hal. Biasanya Justin tak luput dari pembicaraan, tapi malam ini teman-temanku mau mengerti dengan apa yang aku rasakan, jadi Justin adalah salah satu topik yang harus dihindari. 

Aku melihat satu-satu tawa teman-temanku. Teman yang sudah melebihi teman, dan juga melebihi kata sahabat. Sebenarnya aku kurang suka dengan kata sahabat. Aku lebih suka kata teman.

Mereka rela membagi tawa mereka untukku, apapun kondisiku saat ini. Mereka rela kumpul hanya untuk menghiburku. Mereka yang mampu menghidupkan hari-hariku. Mengakhiri malam yang panjang ini dengan lambaian tangan dan pelukan hangat dari teman, menambah semangatku untuk menjalani hari esok.

*****



Next Part 13

*terima kasih pembaca setia cerita ini

*nantikan part selanjutnya, akan ada lebih banyak konflik yang terjadi.

*maaf kalo agak random..

*sekali lagi terima kasih.. kalian bisa komen atau vote^^

Losing You is Sucks!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang