Part 17

27K 516 37
                                    

Aaron POV

Biasanya jika pengunjung ramai seperti ini, aku akan pergi ke tempat yang sepi. Atau paling tidak mendekam di kamar seharian hingga menjauh dari hingar bingar lautan manusia di Club. Akhir-akhir ini permasalahan di dalam keluargaku betul-betul kacau. Ayahku yang ketauan menjadi seorang gay, membuat ibuku ngamuk luarbiasa hingga memutuskan untuk menikah kembali.

Yang paling parahnya dia menikah dengan pria yang jauh lebih muda darinya. Mungkin sepantaran diriku. Apakah dia tidak malu karena menikahi pria muda? Kurasa tidak. Mengingat dirinya sudah benci terhadap ayahku. Belum lagi akhir-akhir ini Jeniffer juga melakukan hal yang ingin membuat kepalaku pecah.

Sungguh, kalau begini aku memang di haruskan untuk menjadi tameng bagi keluargaku sendiri. Aku benar-benar merasa marah dan iri. Rasanya kenapa semua masalah ini begitu berat adanya? Jika waktu bisa di ulang. Aku merindukan saat-saat dimana seluruh keluargaku berkumpul di halaman belakang untuk melakukan piknik kecil-kecilan.

"Bos," panggil anak buahku begitu aku menuruni anak tangga untuk menuju ke ruang Club-ku.

"Ada apa Josh?"

"Jen sedang mengamuk di ruang VIP Club. Ia berteriak memanggil nama yang tidak ku kenal." Aku langsung mengangguk mengerti. Ini pasti ada kaitannya dengan masalah percintaannya. Langsung saja aku menyuruh Josh balik ke tempat untuk bekerja.

Sementara aku menghampiri adik perempuanku itu. Benar apa yang di katakan Josh barusan. Karena begitu aku masuk, banyak pecahan botol minuman keras, serta sofa sobek yang busa-nya sudah menghambur kemana mana.

Rambut Jenniffer yang berantakan semakin membuatnya terlihat menakutkan. Tapi tidak denganku. Aku sudah terbiasa dengan sifatnya yang satu ini. "KELUAR KAU!!" Jenniffer berteriak keras ke arahku.

Namun bukannya menanggapi aku malahan menyenderkan punggungku di pintu. Adikku langsung menggeram marah, lalu melemparkan botol yang masih mulus ke arah dinding. Ia berteriak kencang, mengumpat, sebelum akhirnya terduduk lemah dengan air mata yang sudah mengalir deras.

Karena sudah begitu barulah aku menghampiri adikku. Perlahan aku melangkah hati-hati agar tidak terkena pecahan beling. Begitu sampai di dekatnya, aku langsung duduk di lantai, lalu meraih kepalanya untuk ku dekap di dada. Tentu saja adikku langsung menangis keras sambil memukul-mukul diriku.

"Kenapa? Kenapa aku tidak bisa bersamanya...." Jenniffer dengan tangisannya yang masih keras. Pun aku mengelus puncak kepalanya. Dia mencintai pria yang salah hingga membuatnya seperti ini.

"Aku sangat mencintai dirinya, Aaron. Kami saling mencintai—uhukk," Jen terbatuk sebentar. Kemudian dia melanjutkan. "Padahal kami saling mencintai. Tapi kenapa aku tidak bisa bersamanya?"

Kembali aku mengingatkan hal yang sama padanya.

"Jangan lupakan kenyataan bahwa kalian—"

"Aku tau!" Jen memotong. "Tetapi bukankah cinta bisa menghalalkan segalanya?"

"Mungkin memang benar. Akan tetapi lebih baik jika cinta mengalir tak hanya menggunakan perasaan semata, melainkan logika juga. Karena jika logika tidak berjalan, maka semua orang akan terus merasa tersakiti."

"A-aku..."

"Untuk saat ini janganlah memikirkan dia terlebih dahulu, Jen. Kau masih muda. Banyak pria di luar sana yang menginginkan dirimu."

"Tapi aku tidak menyukai pria di luar sana. Mereka tidak seperti apa yang aku harapkan." Kata Jenniffer dengan lesu. Sementara aku membalas perkataannya dengan mengatakan bahwa cobalah untuk melupakan hal ini.

Tetapi Jenniffer langsung memotong pembicaraanku, "Tidak, Aaron! Aku benar-benar mencintai dirinya. Aku akan tetap bersamanya sekalipun banyak kendala di antara kami."

Bad Work Good LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang