Part 22

15.6K 294 16
                                    

Entah kapan dia datangnya, tubuh Ryan terpental seketika begitu di pukul di bagian wajahnya. Darah yang mulai terlihat di sudut bibirnya, membuat Ryan meringis perlahan.

"Jadi kau yang bernama Aaron Aaron itu?" Ryan tertawa sinis sementara kekasihku mulai memberikan pukulan di rahang milik mantanku itu.

"Aaron! Hentikan!" teriakku kencang namun tak di indahkannya. Malahan Aaron semakin memukul Ryan dengan bengis seakan ia adalah mahluk yang harus di hancurkan.

"KENAPA KAU MENCIUM GADISKU, BRENGSEK!" Aaron terus memukul Ryan dengan ganasnya.

Bukannya memohon ampun, Ryan malahan semakin memperpanas suasana, "Kami bahkan pernah melakukannya lebih dari itu. Kau mau tau?"

"FUCK YOU, AS**OLE!" Wajah Ryan yang sudah terlihat babak belur tak membuat dirinya lemah. Karena seketika ia dapat membalikkan keadaan, dengan menendang perut Aaron, lalu juga memukul di bagian rahang kekasihku.

Mereka berdua kian menjadi. Harpher yang mau melihat ke ruang tamu langsung aku cegat dan menyuruhnya untuk masuk kembali. Karena aku tidak bisa apa-apa, akhirnya aku memilih memanggil tetanggaku Carter untuk menghentikan pertikaian yang terjadi.

Untungnya Carter datang seketika dengan teman kampusnya sehingga ia dapat melerai Ryan dan juga Aaron. Aku menyuruh Carter untuk membawa Ryan keluar dari rumah ini. Sementara wajah biru Aaron, dan darah yang masih menempel di bibirnya, membuatku menjadi ngilu.

Sementara itu aku sudah mengambil kotak P3K. Aku melihat Aaron yang duduk di sofa lalu merebahkan tubuhnya dengan posisi telentang. Tanpa menunggu lama pun aku mendekat kepadanya, dan mengambil kapas yang sebelumnya telah ku beri alkohol.

Sambil membersihkan lukanya, aku berbicara pada Aaron dengan pelan. "Kenapa harus bertengkar dengan dia?"

"Kau bercanda? Melihat kekasihmu sendiri sedang di cumbu oleh laki-laki lain, dan aku harus diam saja?"

"Kamu tau bukan itu maksudku Aaron..." kataku membersihkan luka yang sedikit parah itu di bagian rahangnya. "Sssh aaww," pun ia meringis kesakitan. "Aaa-aku hanya terbakar emosi begitu melihat dia mencumbu kekasihku." Aaron membalas perkataanku dengan meringis kembali.

Aku pun kembali meneteskan obat di sudut bibirnya dengan pelan, "Kau tau dia hanya mantanku Aaron dan aku tidak lagi dengannya."

"Justru karena itu aku takut–" ia membuang napasnya gusar, "Kehilangan dirimu."

Aku mengarahkan wajah Aaron kepadaku, namun seketika ia meringis, karena tanpa sengaja aku menyentuh lukanya. "Tidak akan, Aaron. Dengarkan aku baik-baik! Aku hanya mencintai dirimu, Aaron. Jadi tolong jangan melakukan hal itu lagi karena aku takut kehilangan dirimu juga jika seandainya pertikaian tadi tidak bisa di lerai."

Aaron menundukkan kepalanya lemah, "Maafkan aku..."

***

Sudah hampir satu bulan kedua kakak kembar, serta keponakannya menginap di rumahnya. Ia ingin sekali mereka cepat kembali ke kampung halamannya. Bukan bermaksud mengusir. Hanya saja, Lox tidak mau pekerjaannya sebagai jalang akan terbongkar.

Ia tau itu sangat memalukan, namun kejadian yang sudah di buat tidak bisa di ambil kembali. Perlahan Lox melangkahkan kaki-nya menuju kamarnya. Ia takut membangunkan kekasihnya, oleh sebab itu pun ia membuka pintu perlahan, setelah akhirnya menutupnya dengan hati-hati.

Jendela yang berada di pojokkan agak ia buka sedikit agar ada udara dan sinar yang masuk. Aaron pun tak lama menggeliat. Ia menyipitkan matanya karena pantulan dari sinar sang mentari cukup menyilaukan. Di lihatnya siluet wanita yang di cintainya, Lox Agatha Jhonson.

Gadis itu sedang merenggangkan ototnya, terbukti dari tubuh Lox yang ia putar ke kanan maupun ke kiri. Aaron yang melihat itu menyunggingkan senyuman tipis hingga tertawa kecil. Lox yang mendengarnya langsung menoleh ke arah kekasihnya yang rupanya sudah bangun itu.

"Apa yang kau tertawakan?" Aaron menggeleng, "Tch! Bukannya memberikan ucapan selamat pagi, kamu malahan terlihat galak seperti itu."

"Itu sebanding dengan rasa lelahku karena menjagamu yang uring-uringan terus pada kemarin malam!"

"Hehehe," Aaron tertawa lagi. "Come here..." pria itu mengadahkan salah satu tangannya ke arah Lox. Sementara gadis itu memberikan pandangan penuh tanya.

"Just come here..." pinta Aaron dengan nada manja. "Baby just come here." akhirnya Aaron dengan terpaksa menarik tangan Lox hingga tubuh gadisnya menimpa badannya. Begini lebih baik, pikir Aaron.

Pun pria itu mengelus punggung kekasihnya dengan lembut. Lox yang di perlakukan seperti itu hanya bisa memejamkan mata, sambil kepalanya mendekap ke leher Aaron.

"Sudah merasa baikkan?" tanya Lox hendak mengganti posisi, namun Aaron menahannya. "Tetaplah seperti ini..."

Lox menurut dan kembali berada di dekapan Aaron. "Bagaimana? Apa masih terasa sakit?" Aaron kini mengelus rambut Lox dengan lembut dan memanggil nama gadisnya.

"Ada apa?"

"Baby...." Aaron memanggil lagi kekasihnya dengan suara rendah. Kembali ia teringat peristiwa kemarin, dimana kehadiran mantannya Lox cukup membuatnya terganggu.

Ia kesal, sungguh. Ingin sekali rasanya membunuh mantan kekasihnya itu kalau saja ia teringat kata-kata dari pria brengsek itu yang mau tak mau menggoyahkan hatinya.

"Baby..." panggil Aaron lagi.

"Demi Tuhan ada apa?!"

"Kamu benar-benar ingin kuliah lagi?"

Lox membuka matanya dan menghela napasnya pelan, "Hmm tentu. Jujur saja aku hanya tak mau membuat Reuben dan Johnson kecewa karena aku tak lulus di perguruan tinggi. Apa lagi kamu tau aku juga ingin merasakan kuliah kembali."

Setelah sebelumnya Aaron membelai rambut Lox, kini pun tangannya turun ke arah pundak kekasihnya. Ia mengelus-ngelus Lox karena sebentar lagi ia akan mengatakan sesuatu yang penting padanya. "Bagaimana dengan pekerjaanmu sebelumnya? Jika kuliah, apa kamu masih tetap melakukan pekerjaan itu?"

"Hmm tentu."

"Kenapa?"

"Aku pasti butuh biaya untuk kuliah, Aaron. Memang sih abangku akan membiayainya, namun tidak sepenuhnya. Belum lagi aku harus mengurus biaya rumah, kehidupan sehari-hari, dan lain sebagainya. Bagaimana aku bisa mendapatkan uang kalau aku tidak bekerja?"

"Kau bisa jual rumahmu untuk biaya kuliahmu ke depannya. Jika tidak ada tempat tinggal, tinggalah di rumahku. Setidaknya, kamu tidak lagi mmm me-menjual tubuhmu lagi di luar sana." Ada nada gugup ketika Aaron menjelaskannya.

Sejujurnya sudah dari semenjak mereka berpacaran Aaron ingin sekali mengatakan pada kekasihnya bahwa harus keluar dari pekerjaannya. Tapi dia harus menunggu waktu yang tepat. Dan inilah saatnya.

Lox membangkitkan dirinya yang semula berada di atas Aaron, kini mengambil posisi duduk di atas kasur. "Kenapa? Kenapa aku harus keluar dari pekerjaanku?"

Bad Work Good LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang