Vivi, Via dan Ghita kini sedang duduk di bangku kantin. Vivi mengenalkan Ghita pada teman barunya. Tak disangka, Ghita dan Via sangat mudah untuk berteman.
Lihatlah, sekarang Vivi menjadi bahan tertawaan Via dan Ghita. Vivi mendengus kesal, mereka memang tidak tahu diri. Padahal ia yang mengenalkan mereka. Berani-beraninya mereka menjadikan Vivi seperti korban bully.
"Kacian banget Pipi, udah jomblo sejak jadi embrio." ejek Ghita.
"Awas, Vi. Kelamaan jomblo, entar karatan. Hahaha..."
Tawa mereka menggelegar di kantin. Vivi hanya menutup mukanya malu dengan kedua tangannya. Mau marah, tapi nanti malah tambah ditertawakan. Huh, ya sudahlah, Vivi sabar.
"Eh eh, jangan nangis dong Vivi. Kita kan cuma bercanda elah." kata Ghita terdengar geli.
Tetttt tetttt
"Udah bel tuh, skoy masuk kelas." ajak Via.
Mereka bertiga pun menghentikan acara bully Vivi dan berjalan menuju kelas masing masing.
"Gue duluan ya!" kata Ghita lalu dia memasuki kelas 11 IPA 5. Sedangkan kelas Vivi dan Via letaknya lumayan jauh dari kelas Ghita.
Via melirik Vivi yang tampak gelisah dan tidak bisa diam. Ada apa dengan bocah di sampingnya ini?
"Vi, lo kenapa? Kaya cacing kepanasan gitu nggak bisa diem."
Yang ditanyai malah menampakkan ekspresi abstrak yang tidak dimengerti Via.
Maklum, Via tahunya hanyalah angka-angka rumit seperti di pelajaran Fisika atau Matematika. Urusan membaca ekspresi orang, dia angkat tangan. Menyerah.
"Gue kebelet."
Oh, kebelet ternyata.
"Yah.. Kok lo kebeletnya sekarang sih? Kenapa gak tadi aja?" tanya Via malas.
"Mana gue tau."
"Tapi sekarang jamnya Pak Kevin. Bisa abis kita kalo terlambat masuk."
Vivi memutar bola matanya malas, menganggap ucapan Via hanya ancaman belaka yang tidak penting. Hal terpenting saat ini baginya adalah buang urin.
"Udah deh, gue ke toilet dulu. Lo duluan aja. Gue gapapa. Bye!" Vivi langsung berlari ke arah toilet wanita.
Via menghela napas dan melanjutkan jalannya ke kelas.
Di toilet wanita, Vivi merasa lega telah menuntaskan acara buang air kecilnya. Ia keluar toilet dan berjalan menuju ruang kelasnya.
'Kalo tuh guru udah masuk, berarti gue terlambat masuk dong? Dikasih masuk nggak ya? Moga aja nggak.' pikir Vivi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jujur saja, Vivi sangat malas belajar pelajaran yang menyulitkan murid, Matematika. Apa untungnya belajar limit, matriks, integral dan teman-teman sejenis itu? Tidak bisa direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Seharusnya yang perlu dipelajari hanya tambah, kurang, kali, bagi. Empat hal itu sudah cukup bagi Vivi.
Cewek pemalas itu sampai di depan kelasnya dan melihat seorang pria muda yang memakai kemeja, tengah berdiri di depan papan tulis.
"Mampus, tuh guru udah dateng." gumamnya.
Vivi mengumpulkan keberanian lalu melangkahkan kaki memasuki kelas itu dan mengetuk pintu.
Tok tok
"Permisi." katanya mencoba bersikap sopan.
Pria itu melirik sinis Vivi yang terlambat masuk, menaikkan satu alisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate You, Teacher!
RomansaCerita klasik tentang 'bad girl' yang membenci 'handsome teacher' *** "Muka pas-pasan aja belagu. Sok pinter lagi. Dasar tua!" -Vivi "Dasar murid ga sopan. Ngomong sama guru kayak ngomong sama orang gila." -Kevin