30. Balas Dendam

6.2K 179 42
                                    

"Pak, gue bosen. Mau gosip nggak?" Tanya Vivi menaik-turunkan alisnya gemas.

Dia sekarang tengah berbaring di atas ranjang. Dengan menggunakan kaos kebesaran dan celana training milik Kevin. Salahnya sendiri tidak membawa pakaian ganti untuk bermalam di rumah Kevin.

Tapi, kemarin Vivi panik. Gara-gara laki-laki sialan ini--maksudnya ganteng. Vivi tidak sampai hati memaki Kevin lagi. Ia tidak mau Kevin kenapa-napa seperti kemarin.

Walaupun itu hanya demam biasa, Vivi luar biasa panik.

"Gak boleh ghibah, berdosa." Peringat Kevin menepuk-nepuk pipi Vivi.

"Bodo amat berdosa. Ini semua salah lo. Gue bosen juga gara-gara lo kali."

"Maaf, maaf. Nanti kalau saya udah agak baikan, saya anter kamu pulang."

"Emang seharusnya gitu."

"Kenapa sih? Yaudah, kamu mau gosip apa? Saya dengerin."

Raut wajah Vivi menjadi bahagia. Tubuhnya mendekati Kevin, memotong jarak antara mereka.

Sebelum mengeluarkan kalimatnya, Vivi memeluk guling di sampingnya dengan erat. Tidak ada tujuan khusus, hanya saja guling Kevin sangat empuk untuk dipeluk.

"Gue nggak punya bahan gosip. Tapi gue mau tanya ini ke lo." Ucap Vivi menggebu-gebu.

"Tanya apa? Tumben kamu sebelum tanya, bilang-bilang dulu."

Vivi memutar bola matanya. "Karina masih deketin lo nggak?"

"Deketin gimana?" Dahi Kevin mengernyit menanggapi pertanyaan Vivi.

"Maksud gue--yaudah lah, pertanyaan lain. Kalo misal Karina ngajak lo kawin, lo mau nggak?"

"Nggak lah, Vi. Kamu ngomong apa sih? Saya nggak mungkin kawin sebelum nikah."

Vivi menepuk dahinya menyadari Kevin yang telah salah menangkap pertanyaan Vivi. Vivi ingin menjambak rambut Kevin. Tapi dia mencoba sabar, Kevin sedang sakit. Tidak mungkin dia menyiksa laki-laki itu saat ini

"Nikah, Kevin, nikah. Salah gue, maap, maap."

Kevin mengangguk mengerti. "Oh, nikah." Mengusap-usap dagunya seraya terlihat berpikir. "Tergantung lah."

"Tergantung gimana?"

"Ya, tergantung. Kalau kamu udah melamar saya duluan, saya nggak bakal mau nikah sama Karina.

Lagi-lagi Vivi menguatkan hatinya untuk bersabar. Rasanya Vivi seperti berada di bulan Ramadhan saja. Bedanya dia tidak harus menahan lapar, tapi menahan emosi.

"Nggak gitu anjir--" Vivi menepuk-nepuk mulutnya yang secara refleks mengatakan kata keramat itu. Ia melirik Kevin yang sedang menatapnya datar.

Oke, Kevin sepertinya marah karena Vivi berkata kasar. Sebab Kevin telah berkali-kali memperingatkannya untuk berbicara dengan sopan kepada orang lain, termasuk Kevin sendiri.

"Maap, Pak. Itu spontan, sumpah." Ucap Vivi sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya, peace.

Kedua tangan Kevin memegang pipi Vivi. "Kamu mau dihukum?" Tanyanya sedikit sinis.

Vivi menggeleng kaku. Tangan Kevin sudah lepas dari pipinya.

Tiba-tiba, dia merasakan benda kenyal sedikit basah menempel di pipi kanannya. Kali ini, Vivi menghitungnya. 10 detik.

Dalam 10 detik, Vivi bisa rasakan jantungnya akan meledak saat itu juga. Bagaimana bisa Kevin mencium pipinya selama itu?!

Vivi mengerjapkan matanya berkali-kali saat bibir Kevin menjauhi pipinya. Panas, itu yang Vivi rasakan. Tidak hanya itu, perutnya seperti digelitiki sesuatu.

Hate You, Teacher!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang