"Kau sudah ingin pergi?"
Gadis itu mendongak, mengalihkan pandangannya dari sepatu yang membungkus kakinya. Ia mengangguk, "Ya,"
"Baiklah. Don't take too long," Perempuan itu berkata sambil menjulurkan sebuah semprotan pada gadis itu. "Ingat, jangan menggunakan jalan sepi. Jauhi bahaya, mengerti?"
"Iya, Bu. Aku mengerti," Ia kembali mengangguk, membasahi bibirnya dan tersenyum. "Jangan sampai ia mengetahui aku pergi. Ibu bisa mengalihkannya, kan?"
"I know, Sweetie. Now, go,"
Gadis itu berdiri setelah membenarkan sepatunya. Lantas dia mengambil mantel yang tergantung di dekat pintu. "Aku pergi, Bu! Katakan pada Wayde jika aku sedang keluar sebentar,"
Kakinya melangkah bergerak keluar, berjalan menuruni tangga-tangga setelah menjauh dari sana. Perempuan itu menghirup napas perlahan, berusaha menuruni tangga dengan teratur. Yah, diperlukan perhatian ekstra untuk menyeimbangkan langkahnya di atas tangga-tangga rapuh ini.
Dia melewati satu pintu besar yang sudah terlihat lama dan mulai rusak. Sheryl melihat sekelilingnya, memastikan ia bisa baik-baik saja untuk melewatinya. Ia terus melangkah dengan penuh waspada.
Di lingkungan rumahnya telah terjadi banyak kejahatan. Tentu saja, ini bukanlah hal aneh dikarenakan tempat Sheryl tinggal merupakan salah satu pemukiman kumuh. Mulai dari permasalahan pencurian sampai pemerkosaan terjadi di sini.
Rasa takutnya memuncak saat melewati gang sepi. Ia masih ingat dengan baik jika ibunya melarang dirinya melewati jalan tanpa keramaian seperti ini. Seakan lupa dengan perkataan ibunya tadi, dan juga lupa jika ia didik menjadi gadis yang menurut pada ibunya.
Akhirnya perempuan itu berhenti merasa gelisah saat melihat sebuah plang besar yang terpampang jelas di depannya. Sebuah restoran. Yang tak lain tempatnya juga bekerja.
Ia mendorong pintu yang terletak dihadapannya dan melangkah masuk. Dari sini ia bisa menyaksikan banyaknya pengunjung yang datang untuk menikmati makanan yang tersaji di sini.
Tentu mereka berbeda dengannya. Mereka tak sendiri sepertinya. Gadis itu tersenyum, sebelum mendengar sebuah suara, "Apa yang ingin kau lakukan? Meminta sisa-sisa makanan dari pelanggan? Maaf, tapi kami tidak menyimpan makanan sisa,"
Alih-alih membalas dengan kasar, dia hanya menggeleng kecil. Berusaha dengan sabar menghadapi para orang-orang yang mempunyai mulut pedas. "Tidak. Aku ingin membeli makanan,"
"Oh ya? Kau mendapat uang darimana? Dengar, kami tidak menerima uang curian,"
Gadis itu kembali menggeleng. Mengatur nafasnya dan berusaha terlihat tenang agar emosinya tidak meluap sia-sia. It's fine, Sheryl, you can do this. "Bisa aku pesan sekarang?"
Perempuan yang sedari tadi merupakan rekan bicaranya hanya memutar bola matanya. Orang itu terlihat merasa benar-benar jijik dengan Sheryl. "Kau ingin apa?"
"Dua paket makan. Untuk dibawa pulang."
Dia hanya mendengus sebal membalasnya. Dengan segera, ia berbalik dan berteriak lantang pada temannya yang lain untuk menyampaikan pesananan milik gadis yang terlihat ia benci mati-matian itu. "Pesananmu sedang dalam proses. Kemarikan uangmu!"
Gadis itu mengambil beberapa lembar uang dari saku mantelnya. Memberi kepada orang dihadapannya setelah memastikan uangnya cukup untuk membayar, perempuan yang berada di hadapannya mengambil dengan kasar. "Bisa kau tunggu di samping saja? Asal kau tahu, banyak orang yang mengantri dibelakangmu," tunjuknya pada orang-orang di belakang Sheryl.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbroken • jb
FanfictionSheryl Bradson punya kehidupan yang membosankan sekaligus menyedihkan. Tidak ada yang menarik dalam ceritanya, dia hanya punya kisah yang sama setiap harinya; yaitu bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan uang untuk keluarganya dapat bertahan hidu...