"Wajahmu kenapa aneh begitu?"
Mendengar suara Justin yang terdengar di telinganya tiba-tiba membuat tubuh Sheryl seketika terlonjak terkejut. Dia mendengus lalu menggeleng. Ini bahkan sudah sore, dia masih berada di rumah Justin untuk mengajari pria itu, sekedar untuk menepati janjinya sekaligus menjalani hukuman dari Mrs. Gradie. "Kau sudah selesai belum?"
Pria itu hanya menggeleng lantas menggerutu. "Soalnya sulit sekali, Sherrie. Mana bisa aku mengerjakannya,"
"Jadi, usahaku dari tadi untuk mengajarimu hanya sia-sia saja? Kau benar-benar membuang waktuku, kau tahu?"
Justin membuang napasnya pelan. "Oh, kau 'kan tahu aku sebodoh apa jika sudah harus di pertemukan dengan macam-macam bedebah ini. Kau harus lebih sabar, oke?"
Sheryl hanya mengangguk dan mendesah kecil. Dia kembali menjelaskan salah satu contoh soal di buku itu sembari menunjuknya dengan pensil, kemudian menuliskan beberapa angka di sebelah soalnya. Mencoba memberi tahu bagaimana cara mengerjakan soal itu. Namun bukannya memahami dengan baik, Justin malahan memandangi Sheryl lekat dari tempatnya berada sembari memuji wanita itu dalam hatinya. Wajah Sheryl terlihat bagitu sempurna dari samping, mata cokelat terangnya, hidung mancungnya, bibir pink-nya dan pipi chubby-nya. Dia memiliki kulit putih cerah, tidak pucat. Dan semakin lama memandanginya hanya membuat Justin merasakan suatu gelenyar yang aneh di dalam dirinya. Ini aneh. Entah mengapa perasaan yang di rasakannya kali ini seperti perasaan yang dia rasakan ketika masa hidup Mikaila beberapa tahun silam. Dan merasakannya kembali setelah sekian lama rasanya cukup asing bagi Justin. Apa dia jadi menyukai gadis ini?
Konyol. Tentu tidak. Justin tidak akan pernah jatuh pada gadis lagi. Tidak setelah kematian Mikaila. Semuanya sudah cukup jelas baginya jika cinta hanya menyakitinya saja. Dia tak boleh menyakiti dirinya sendiri lagi.
"Kau dengar apa yang kubicarakan, tidak?" Sheryl segera menolehkan wajahnya. Dan tanpa sadar sedari tadi Justin terus mendekati wajahnya ketika menatap gadis itu tanpa henti. Sheryl bisa memandang dengan jelas wajah laki-laki itu dari sini. Tapi, cepat-cepat dia membuang wajahnya kearah buku dan pura-pura sibuk mengerjakan soal-soal di sana. Pengalihan yang cukup bagus. Meski Sheryl akui dia suka dengan ciumannya bersama Justin kemarin, namun dia tidak bisa membiarkan kejadian itu terulang lagi hari ini. Ya, hanya hari ini.
Justin segera menutup buku yang membuat Sheryl mengalihkan perhatiannya darinya. Dia mengambil buku itu dan membereskannya bersama alat tulisnya sebelum menaruhnya di laci meja belajarnya. "Belajar untuk hari ini selesai. Aku muak melihat angka-angka itu,"
Sheryl memutar bola matanya. "Kau itu menyebalkan." Lantas dia bangkit dari tempat duduknya dan meraih tasnya. "Baiklah karena tugasku sudah selesai hari ini, aku akan pulang." Belum sempat Sheryl berbalik dan pergi dari sana, Justjn segera menahannya. "Tidak. Kau akan tetap disini. Sebentar." Sahut Justin. Nada ucapannya seperti tidak bisa terbantahkan, dan akibatnya Sheryl mendengus. Justin memang senang sekali mengatur kehendak orang lain. Dan sikapnya itu sangat membuat Sheryl jengah setiap waktu.
"Tapi Wayde pasti sudah kebosanan di ruang tamu. Kau benar-benar tidak punya rasa kasihan pada adikku, hm?" Tanya perempuan itu, berharap Justin akan membiarkannya pulang.
Pria itu menarik kedua bahunya acuh. "Dave sedang membawanya jalan-jalan. Dia takkan kebosanan,"
"A—apa kau bilang?! Dave? Bagaimana bisa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbroken • jb
Fiksi PenggemarSheryl Bradson punya kehidupan yang membosankan sekaligus menyedihkan. Tidak ada yang menarik dalam ceritanya, dia hanya punya kisah yang sama setiap harinya; yaitu bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan uang untuk keluarganya dapat bertahan hidu...