Chapter 4

561 67 20
                                    

Bulu mata gadis itu bergetar beberapa kali sebelum kedua matanya terbuka. Dia mengerjap seraya memegangi kepalanya yang dilanda rasa pening. Matanya mengedar ke segala penjuru ruangan dan menyadari jika ini bukanlah kamarnya. Dia tak tahu dimana dirinya sekarang.

Ruangan bercatkan warna putih dan dominasi hitam. Kamar ini sangat lebar. Terdapat lemari yang cukup besar di pojokannya, sebuah pintu yang diyakini Sheryl merupakan batasan antara kamar mandi dan ruangan ini, juga meja yang terdapat buku-buku berserakan, lebih tepatnya meja belajar. Kamar ini lumayan berantakan. Banyak pakaian kotor di lantai, dan sebuah gitar yang tergeletak di samping meja belajar dalam keadaan tidak rapi.

Sebenarnya menurut Sheryl, aura ruangan ini cukup menyeramkan dan membuatnya tak nyaman akibat ruangan ini berwarna hitam—meski hanya mendominasi, tapi tetap saja—. Dindingnya benar-benar polos tanpa tempelan sama sekali. Dia menghela napas ketika mengingat apa yang terjadi sebelum dirinya tak sadarkan diri. Dia pingsan di tengah tumpukan salju.

Perempuan itu bangun dari tempat tidur besar itu sesekali mengerang karena sakit kepalanya. Dia butuh obat. Namun satu-satunya hal yang perlu dia lakukan sekarang  adalah keluar dari rumah megah ini. Dia berjalan menuju pintu cokelat itu lantas memutar kenob pintu sebelum mengambil langkah pelan, tak ingin derap kakinya menimbulkan suara sedikitpun. Matanya tak bisa lepas memandang kemewahan rumah ini. Rumahnya sangat besar. Walau tak sebesar mansion, tapi bagi Sheryl ini benar-benar megah. Kakinya menuruni tangga masih dengan langkah pelan, bagai seorang maling yang mengendap masuk ke rumah orang yang akan dicurinya.

"Hei, apa yang kau lakukan disana?"

Tubuhnya seketika terlonjak terkejut, kepalanya praktis menoleh. "A—aku ingin pulang." Ucapnya terbata-bata seraya menundukkan wajahnya. Dia takut menatap wajah orang itu. Membayangkan tatapan-tatapan seram layaknya di film-film.

"Pulang? Apa kau sudah baik-baik saja? Justin membawamu tadi saat kau sedang pingsan, dia terlihat sangat khawatir." Tangan wanita itu menyentuh pundak Sheryl seraya mengelusnya dengan lembut. "Justin sangat berarti bagiku. Dia anakku satu-satunya. Kebahagianku yang paling berharga. Dan melihat bagaimana dia menatapmu tadi membuatku juga merasakan rasa pedulinya padamu." Lalu dia tersenyum. Matanya menatapnya hangat. Tatapan wanita itu... seketika mengingatkannya pada ayahnya. Sulit sekali rasanya untuk mengingat ukiran senyuman ayahnya, namun kali ini dengan melihat senyum wanita itu membuatnya langsung teringat dengan begitu mudahnya. Kenangan bahagia bersama ayahnya seperti terpancar lewat mata hangatnya. "Tetaplah disini sebentar. Jangan buat Justin cemas. Mencemaskan orang lain rasanya sangat buruk, apa kau tahu itu?"

Sheryl ikut tersenyum, membalas senyuman hangat wanita paruh baya itu. "Ya, aku sering merasakannya. Aku punya dua adik yang membuatku khawatir setiap saat—tunggu. Astaga. Wayde!" Perempuan itu segera melepaskan tangan wanita yang notabennya ibu dari seorang Justin Bieber. "Maafkan aku, Mrs. Bieber. Tapi aku harus segera pergi, adikku pasti sudah menungguku. Dia sendirian. Maafkan aku sekali lagi. Terima kasih." Dengan begitu Sheryl melangkah pergi setelah membungkuk sebentar. "Aku pamit pulang, Mrs. Bieber. Aku permisi."

"Hei, tapi tunggu dulu." Sheryl berhenti melangkah dan berbalik. "Apa kau tak ingin menunggu kekasihmu datang mengantarmu?"

Bahkan rasanya Sheryl akan tersedak oleh udara ketika mendengarnya. Yang benar saja. Kekasih? Siapa? Yang ingin berteman dengannya saja hanya Thomas. Mana mungkin ia punya seorang kekasih. "Kekasih? Kekasihku?" Dahinya berkerut, meninggalkan lipatan-lipatan kasar disana. "Apa maksud anda, Mrs. Bieber?"

Ibu Justin menyipitkan matanya. Tampak sedikit ragu dengan gadis itu. "Ya, kekasihmu, Justin. Putraku." Senyuman wanita itu belum luntur sama sekali, dia masih menatap Sheryl dengan begitu hangatnya. "Ah, panggil aku Pattie saja. Namaku Patricia. Tidak usah kaku begitu. Aku sangat senang bertemu denganmu, dan siapa namamu, sayang?" Lanjutnya.

Unbroken • jbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang