Chapter 12

477 50 28
                                        

Dalam eksistensi hidupnya selama ini, Sheryl memang meyakini keberadaan cinta. Dia percaya cinta itu ada. Menurutnya cinta itu bukanlah hal mustahil. Karena disaat dia berusaha menganggap cinta itu tak mungkin, ayahnya seperti selalu ada untuk meyakininya. Dan akhirnya dia percaya, meskipun dia tidak pernah mencintai seseorang laki-laki pun selama ini, tapi dia yakin cinta itu memang ada. Buktinya dia bisa melihat bagaimana sikap ayahnya ketika menceritakan kisahnya dengan ibunya, atau bagaimana pria itu menatap istrinya penuh dengan rasa sayang yang tak bisa digambarkannya. Dia seperti mencintai ibunya seolah dia tak punya banyak waktu untuk itu. Layaknya ia tahu jika ia akan kehilangannya.

Dan hari itu pun datang. Hari dimana Sheryl menyadari bagaimana luar biasa rasa cinta yang ayahnya rasakan. Ini gila. Maksudnya, dia tak pernah berpikiran dia akan jatuh cinta untuk pertama kalinya sekarang. Dan dia rasa, dia jatuh cinta pada orang yang salah. Karena kali ini dia memberikan hatinya pada Justin. Justin Bieber. Ya, mungkin dia memang tahu jika Justin menyukainya juga, dan dia percaya tentang itu karena dia memang yakin mata setiap manusia tak bisa membohongi. Namun, laki-laki juga tetap laki-laki. Mereka semua tetap tidak bisa dipercaya begitu saja.

Karena kali ini Sheryl sedang memandang hal yang tidak pernah dia harapkan untuk terjadi. Melihat seseorang yang baru saja dicintainya sedang berusaha menyakiti hatinya tanpa berusaha dia lakukan. Sialnya, ini terlalu menyakitkan. Sheryl baru sadar jika rasa cemburu bisa se-menyakitkan ini. Dia pikir, orang yang sering cemburu pada pasangannya adalah hal kekanak-kanakkan, tapi tidak lagi untuk sekarang. Dan dia sadar jika perasaan cemburu ini tidak pantas, memangnya dia siapa? Justin bukan kekasihnya.

Dia merasakannya. Sheryl bersumpah, demi apapun, ini bukan hal menyenangkan. Justin berada di hadapannya sekarang. Berduaan bersama Stella. Dan melihat bagaimana mata Justin menatap Stella yang sedang berada di pojokan lorong itu membuat kakinya terasa melemas. Dia menghembuskan napasnya, berusaha untuk melepas perasaan aneh ini, tapi tetap saja. Rasanya makin sama. Bahkan bertambah buruk melihat bagaimana wajah Justin yang semakin dekat dengan milik Stella. Tidak. Dia harus segera pergi dari sini. Namun dia tidak bisa. Kakinya tetap menahannya.

Rasanya dia ingin berlari, pergi menjauh dari kenyataan jika Justin tetaplah pria brengsek yang hanya ingin main-main dengan perasaannya. Tapi kakinya bodohnya ini tetap menahannya, seakan memerintahkannya untuk menyaksikan semua adegan yang dia benci setengah mati. Bagaimana ini? Apa yang harus dia lakukan?

Dan Sheryl masih tetap disana. Berdiri mematung sembari memandang tak percaya hal yang ada dihadapannya. Dia harus segera pergi. Kenapa kakinya tak bisa bergerak? Ini benar-benar membuatnya frustasi. Apa sulitnya untuk berjalan? Dia bahkan hampir melakukannya setiap saat, tapi mengapa kali ini sangat susah untuk sekedar menggerakan kakinya saja? Ya Tuhan.

Perasaanya semakin menjadi-jadi ketika bel berbunyi. Apa kakinya masih akan bertahan disini? Orang-orang segera berjalan melewatinya. Mereka semua pergi, meninggalkan mereka bertiga di lorong. Dan semuanya terjadi begitu saja. Justin berbalik dan menyerngit menatap Sheryl yang sedang menatapnya dengan... pandangan yang sulit ia jabarkan. Ada apa dengannya? Sheryl tak mengira yang aneh-aneh, kan?

Namun ketika Justin baru saja membuka bibirnya sekaligus berjalan kearah gadis itu, Sheryl segera mencegahnya dengan gelengan sebelum berlari pergi begitu saja meninggalkannya dengan perasaan gusar. Sialan. Pasti dia salah paham. Ini membuatnya jadi gila. Justin menggeram sebelum menjambak rambutnya kasar. Ah, sial, sial, sial. Kenapa dia tidak sadar ketika Sheryl menatapnya di sana sedari tadi, sih?

Justin segera berbalik, menatap Stella seperti menyalahkan perempuan itu jika ini semua kesalahannya. Sementara dia hanya menggendikan bahunya acuh sembari menyeringai. "Sialan. Jangan beraninya kau menatapku seperti itu, jalang." Gumam Justin dengan marah, membuat ekspresi senang di wajah Stella segera menghilang. Lantas usai itu, dia segera pergi meninggalkannya sendirian.

Unbroken • jbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang