Chapter 22

313 43 17
                                    

           Thomas memejamkan matanya beberapa detik sembari menghembuskan napas berat. Ini sudah memakan waktu semalaman untuk mencari sebuah petunjuk yang tersisa dari kematian mantan kekasihnya. Dia telah berusaha mencari informasi yang kemungkinan terdapat di beberapa barang peninggalan Mikaila, namun nihil. Dia tidak menemukan apapun.

          Dia memijat keningnya pelan. Kepalanya terasa sakit akibat kekurangn tidur. Pria itu bahkan hanya tidur satu jam. Dia tentu lebih memilih tetap terjaga dan kehilangan banyak waktu yang seharusnya ia gunakan untuk tidur daripada harus terlelap dalam keadaan tidak tenang, karena ia belum mengetahui apapun mengenai kebenaran yang seharusnya terungkap. Sudah tiga tahun dan pelakunya belum tertangkap, bahkan masih belum diketahui siapa pelakunnya. Orang itu pastinya sangat pintar melakukan aksinya, karena sampai sekarang, tidak ada satupun orang yang menemukan petunjuknya. Sedikitpun.

        "Hei,"

         Mendengar sebuah sapaan, Thomas praktis mendongakkan wajahnya sebelum tersenyum hangat. Itu Sheryl. Kemudian dia menepuk tempat kosong di sebelahnya, memberi kode pada gadis itu agar duduk di sana tanpa bersuara. Sheryl lantas segera duduk tanpa harus berpikir panjang, kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Dia langsung mengulurkan benda itu ke atas meja yang berada di hadapan mereka.

          Pria itu merasa agak terkejut melihat benda yang baru saja dikeluarkan dari tas Sheryl. Tentu saja karena yang di hadapannya kali ini merupakan buku harian milik Mikaila.

          "Bagaimana bisa kau mendapatkannya?" Kening Thomas mengerut ketika melihat buku itu.

          "Aku datang ke rumah Mikaila kemarin bersama Megan. Dia perlu mengambil barang yang masih tertinggal di rumah itu, dan aku tidak sengaja menemukan kamar Mikaila ketika sedang melihat-lihat," jawab Sheryl dengan nada yang terdengar tenang.

         Thomas mengangguk, lantas mengambil buku itu dan membalik-balikkan setiap lembarannya. "Apa menurutmu ini benar-benar ide yang bagus? Kau tahu, aku merasa jika kita sedikit kelewatan dengan melakukan ini. Seperti membaca buku hariannya selayaknya yang kita lakukan sekarang," gumamnya usai membolak-balikkan halaman buku itu tanpa membacanya. Dia menatap sampulnya dengan tatapan... yang entahlah, Sheryl juga tidak tahu apa itu.

         "Ya, tentu saja aku masih tetap berpikir jika ini benar-benar ide yang bagus. Dan aku juga sudah bilang 'kan padamu jika kita sedang memperjuangkan hak Mikaila? Ini untuk kebaikannya. Setidaknya kita tidak bisa membiarkan pembunuhnya masih berkeliaran dengan bebas setelah apa yang ia telah perbuat, Thomas,"

          "Tapi bukankah ini seperti terlalu mencampuri privasinya?" Tanyanya kembali. Dan Sheryl rasa, sepertinya Thomas menyesali keputusannya sendiri karena telah menyetujui keinginan Sheryl kemarin.

         Perempuan itu mendesah kecil. "Tidak. Lagipula kita bisa saja mendapat sesuatu dari hal-hal yang seperti ini, oke?"

         Thomas menggeleng. "Tapi kita tidak menemukan apa-apa, bukan? Maksudku, Mikaila pasti tidak tahu jika malam itu dia akan mati, dia pasti tidak tahu jika akan ada orang yang sengaja menabraknya," bantah laki-laki itu yakin. "Lagipula jika Mikaila mengetahuinya, apa kau pikir dia akan diam saja dan membiarkan hal itu terjadi? Tentu tidak. Dia tidak akan berpikir sedangkal itu untuk membiarkan dirinya sendiri mati, dia juga sedang mengandung ketika itu. Dia pasti tidak akan diam saja,"

         Sheryl menghela napasnya sebelum berucap, "Dengar, mungkin kau merasa jika hal yang kita lakukan sekarang adalah hal sia-sia, tapi tidak denganku." Gadis itu lantas memposisikan tubuhnya untuk benar-benar menghadap ke arah Thomas. "Apa kau ingat dengan cerita Justin kemarin? Dia bilang ada kesempatan bagi Mikaila untuk menghindar, tapi dia tidak melakukannya. Dia hanya diam dan membiarkan mobil itu menabraknya, tid—"

Unbroken • jbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang