Tak membutuhkan waktu lama bagi Megan untuk mengendarai mobilnya sampai ke depan gedung apartemen kumuh dimana tempat Sheryl tinggal. Suasana di antara mereka selama perjalanan terasa sangat canggung semenjak Megan mengatakan jika Mikaila merupakan saudari kembarnya, suasana diantara mereka benar-benar membuat Sheryl jadi tidak nyaman. Mungkin dia memang tidak suka saat Megan mulai cerewet dan berisik, tapi keadaan canggung adalah hal yang paling ia benci.
Tanpa membuang waktu lebih lama, Sheryl segera melepas seatbelt yang terpasang di tubuhnya sedari tadi, kemudian meraih handle pintu lantas membukanya. Gerakannya terlihat terburu-buru, membuat Megan menyerngitkan dahinya bingung. Ah, lebih tepatnya curiga. Ditambah Sheryl sedikit bersikap aneh hari ini.
"Sheryl?"
Gerakan gadis itu segera terhenti mendengar namanya dipanggil. Dia menolehkan kepalanya dan memberikan pandangan gugup. "Y—ya?"
"Ada apa denganmu?" Tanya Megan dengan mata menyipit.
"Apa maksudmu?"
Perempuan itu menatapnya lama sebelum menghela napas kecil. Dia menggeleng, "Lupakan saja," gumamnya sembari mengalihkan pandangannya menatap lurus ke depan.
"Oh, baiklah," balas Sheryl seraya mengangguk. Perasaan sedikit lega mengetahui Megan tidak jadi menanyakan sesuatu padanya. "Aku akan masuk sekarang, kau hati-hati, oke? Jangan bersikap ceroboh," ingatnya pada perempuan berambut merah itu.
Megan hanya menunjukkan senyuman tipis kemudian mengangguk.
Sheryl segera keluar dari mobil perempuan itu dan melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam gedung apartemennya. Fyuh, untung saja. Sepertinya Megan tidak menyadari jika Sheryl mengambil buku Mikaila. Rencananya berhasil. Ya, meski dia pikir kemungkinan besar akan tertangkap, karena Sheryl hampir tidak bisa berbohong. Dia jarang sekali berbohong. Lagipula ini bukan demi keuntungannya. Ini untuk memberikan hak yang seharusnya Mikaila dapat.
Lalu Sheryl melangkah, menaiki gundakan-gundakan tangga dengan langkah cepat. Dia tidak sabar untuk membaca isi buku yang sedang ia genggam itu. Mungkin dia akan mengabari Thomas besok perihal buku ini.
Tanpa terasa Sheryl telah berada tepat di hadapan pintu apartemennya. Dia langsung memutar kenop pintu dan mendorong benda itu agar terbuka, kemudian dia segera masuk ke dalamnya. Tapi baru satu langkah dia masuk ke dalam apartemennya, dia baru ingat jika belum menjemput Wayde dari sekolahnya. Sial. Mengapa ia bisa sampai pikun begini, sih?
Langsung saja Sheryl kembali membuka pintu dan hendak pergi, tapi langkahnya segera terhenti melihat kehadiran dua orang di hadapannya. "Justin? Wayde?" Matanya menatap mereka dengan pandangan tak percaya. Perasaannya jadi lega melihat adiknya sudah ada di depannya dengan keadaan baik-baik saja. Dirinya memang sangat ceroboh. Bagaimana bisa dia melupakan adiknya sendiri? "Maafkan aku, Wayde. Tadi aku ke rumah temanku sebentar, dan malahan aku jadi lupa untuk menjemputmu,"
Sheryl kira, Wayde akan diam saja, hanya sekedar menujujkan anggukan kecilnya sembari berlalu begitu saja dari pandangannya. Tapi tidak. Pria kecil itu tersenyum lebar sebelum menggeleng. "Tidak apa, Sheryl. Aku suka diantar Justin." Lantas Wayde menolehkan kepalanya kearah Justin dan mendongakkan wajahnya untuk menatap laki-laki tinggi itu. "Justin, kau akan menjemputku lagi, kan? Aku ingin bermain bersamamu lagi,"
Justin terkekeh kemudian mengangkat kedua alisnya naik-turun. "Well, tentu saja aku mau, Waydie, tapi saudarimu ini kelewat overprotective, pasti dia tidak akan mau membiarkanmu terus pulang bersamaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbroken • jb
FanfictionSheryl Bradson punya kehidupan yang membosankan sekaligus menyedihkan. Tidak ada yang menarik dalam ceritanya, dia hanya punya kisah yang sama setiap harinya; yaitu bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan uang untuk keluarganya dapat bertahan hidu...