Chapter 8

439 48 6
                                    

          Pagi ini tampak seperti pagi biasanya bagi Sheryl. Thomas tidak lagi menjemputnya seperti kemarin. Laki-laki itu hilang. Bahkan Sheryl tak bisa menemukannya sedari tadi. Tidak, dia tidak mencari Thomas, hanya saja aneh jika tidak menemukan pria itu. Sheryl kemudian menutup pintu lokernya sembari mendekap dua buku tebalnya usai memasukkan sisa buku itu ke dalam tasnya. Dia melangkah melewati lorong sekolah sembari menundukkan wajahnya, bagai seorang narapidana. Dia memdesah dalam hati akibat pandangan murid-murid NY High-school.

          Tubuhnya bahkan hampir linglung ketika melihat tubuh seorang wanita berdiri di hadapannya. Dia melototkan kedua matanya tidak percaya. A—apa ini? Hal buruk apa lagi yang akan terjadi padanya? "Kenapa kau terkejut seperti itu, Sheryl? Calm down, aku tidak akan menggigitmu." Wanita itu berucap dengan nada geli seraya terkekeh kecil. Mereka berdua menjadi pusat perhatian seisi sekolah saat ini. Tentu saja. Wanita di hadapan Sheryl merupakan Stella Maxwell. Gila saja jika dia tidak menjadi pusat perhatian barang semenit pun.

         Sheryl mengejapkan matanya beberapa kali. Dia menggaruk tekuknya salah tingkah sembari tersenyum kaku. "Umm... hai?" Sheryl memejamkan matanya seraya memaki dirinya sendiri. Sial. Kenapa dia malahan menyapa Stella, sih? Buat malu saja!

         Stella memamerkan senyuman lebarnya. "Sudah kubilang tak perlu se-kaku itu." Sheryl hanya mengangguk-angguk menanggapi ucapan Stella. "Dan, oh, bagaimana jika makan siang bersama? Kukira kau cukup keren untuk ikut berkumpul bersama kami,"

        Sheryl terdiam cukup lama. Antara tidak percaya dan sedikit tidak paham dengan ucapan orang di hadapannya. Rasanya dia ingin membenturkan kepalanya ke tembok akibat menganggap semua ini hanyalah mimpi. Tentu saja, memangnya dia siapa sampai-sampai orang sekelas Stella ingin mengajaknya berbicara? Bahkan mengajaknya makan saat makan siang nanti bersama gengnya juga. Dia meneguk ludahnya bingung. Dia tersadar jika hal ini adalah kenyataan. Dan disini ia tidak tahu harus apa. Dia tentu tidak bisa menerimanya. Bergabung dengan kaum populer hanyalah omong kosong baginya. Dia tidak menyukai orang-orang terkenal sekolah, dia tak pernah berharap menjadi bagian salah satu dari mereka. Dia ingin sekali menolaknya, tapi dia tak tahu bagaimana cara mengatakannya. Bukankah dirinya terlihat 'sok-sokan' jika menolaknya begitu saja? Dia juga tak mau bermasalah dengan Stella hanya karena masalah sekecil ini. Siapa tahu Stella akan memperpanjang tentang ini dang menganggapnya terlalu belagu karena menolak ajakannya yang tidak datang dua kali. Tidak, tidak. Dia tidak mau. Tapi sekarang dia harus bagaimana? "Sheryl?"

        Sheryl segera terlonjak, langsung tersadar dari lamunannya. "Ya?"

       "Bagaimana? Kau tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, kan?" Stella bertanya sembari menaikkan sebelah alisnya. Wanita itu menatapnya dengan tatapan memohon. Sheryl mendesah ketika melihat itu.

       "Tentu," dan usai menjawab seperti itu, Sheryl sadar jika dia mengambil keputusan yang salah. Ah, gila. Dia tak mengerti apa yang harus dia lakukan lagi. Rasanya dia ingin menyambungi ucapannya agar bisa menjadi rangkaian kalimat yang mampu untuk menolak Stella, tapi bibirnya malah bungkam. Stella mengukir senyum lebih lebar, tampak sangat puas dengan jawaban Sheryl. "Gadis pintar,"

         Sheryl ikut tersenyum, walau tidak begitu kentara. "Baiklah, aku harus pergi. Sampai jumpa nanti siang, Sher!" Stella segera menghilang dari pandangan Sheryl setelah dia melambaikan tangannya padanya. Sheryl hanya mengangguk kecil.

          Sheryl berbalik lantas mendesah. Dia berjalan dengan gusar sampai menemukan eksistensi Megan yang sedang menatapnya dengan mata menyipit dengan kedua tangannya di depan dada. Sheryl menatap Megan dengan bingung, perempuan itu segera menghampirinya cepat. "Apa yang baru saja kau bicarakan dengan Stella?" Tanya Megan tanpa pikir panjang.

Unbroken • jbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang