2-Liburan Yang Dipaksakan
Dinda mengerang tertahan saat mendengar perdebatan antara kakak perempuan dan ibunya di ruang keluarga. Bukan, bukan karena mereka berdebat, Dinda sudah terlalu biasa mendengar mereka berdebat karena keduanya memiliki sifat yang sama-sama tidak mau mengalah. Dinda kesal karena topik yang sedang diperdebatkan kakak dan ibunya itu pasti akan memyeret rencana liburannya ke rumah nenek. Iya, pasti.
"Kamu tuh ya, kalo dibilangin sama orang tua nurut kenapa Ta? Sekali aja ikutin apa kata Mama!" bentak Heriska kepada anak keduanya.
Dita, kakak perempuan Dinda tampak tidak gentar sedikitpun, "bukannya aku gak mau nurut Ma, tapi selama ini tuh aku udah selalu bantuin Mama! Mama gak adil dong kenapa aku doang yang dipaksa ikut? Kenapa Dinda sama Bang Deni, enggak?" tanya Dita dengan suara yang juga meninggi.
Dinda menggelengkan kepala. Kakaknya itu memang agak kurang ajar, Dinda akui itu, karena hanya kakaknya itu yang berani membentak Mama balik. Sedangkan Dinda dan abang laki-lakinya, Deni, selalu diam jika sedang diomeli. Karena mereka tau, semakin Heriska dilawan, semakin Heriska marah.
"Terserah kamu deh! Jadi anak susah banget diatur! Sana pergi! Giliran diajak temen-temen aja bela-belain sampe bentak orang tua, giliran sama orang tua diajak malah marah-marah!"
Mendengar kalimat frustasi Heriska, Dinda tau dia lagi-lagi yang harus mengalah kepada kakaknya. Sebentar lagi Dinda jamin Heriska akan memanggil—
"Dinda, kamu ikut Mama ke Lembang! Biarin kakak kamu itu pergi semau dia!"
Sudah Dinda duga.
***
Dinda rasanya ingin menangis. Padahal dia sudah berencana untuk berlibur di rumah neneknya selama liburan semester ini. Dia sudah terlalu merindukan Bandung, tempatnya lahir dan tumbuh. Tetapi dalam sekejap, semua rencananya hancur berantakan. Terima kasih kepada Andita, kakaknya tersayang.
Dinda menatap kosong ke arah jalanan yang dilaluinya. Aksi diamnya tentu saja diketahui Heriska, tetapi Heriska tidak berkata apa-apa, dia tau aksi diam Dinda akan berhenti cepat atau lambat.
Mobil honda jazz yang dikendarai Heriska sudah masuk ke jalan raya Lembang. Sepanjang jalan sudah tampak berbagai hotel di kiri kanan. Dinda berdecak, sudah cukup lama dia tidak ke Lembang. Terakhir yang dia ingat belum sebanyak ini hotel dan penginapan yang ada.
"Sedih deh liatnya, sekarang lahan perkebunan udah tersisih sama hotel dan penginapan," ucap Heriska. Sepertinya beliau juga sepemikiran dengan Dinda.
Dinda mengangguk setuju. Tetapi dia masih belum mau menanggapi ibunya itu. Dia masih ingin menunjukkan kalau dia terpaksa ikut.
"Tapi kamu tenang aja, rumah sahabat Mama ini ada kebunnya luas banget. Kamu pasti suka deh di sana."
Dinda memutar matanya. Dia lebih suka tinggal di rumah Nenek. Makan masakan nenek, tidur dalam pelukan nenek, mendengar cerita nenek. Ah, Dinda kangen sama nenek.
"Nanti, abis dari rumah sahabat Mama, kamu langsung Mama anterin ke rumah nenek. Kita cuma nginep di rumah sahabat Mama ini lima hari kok, Din."
Mendengar penuturan ibunya, Dinda mau tidak mau menatap ke arah wanita yang sudah melahirkannya tersebut. "Bener, Ma?" tanyanya.
Heriska tersenyum mendapati anak bungsunya itu sudah mau berbicara dengannya. "Iya, bener. Makanya, kamu jangan cemberut terus. Lagian ini tuh sahabat Mama dari SD tau, gak? Mama udah hampir sepuluh tahun gak ketemu sama dia. Makanya pas Mama tau dia ada di Lembang dan ngundang Mama buat dateng, Mama excited banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity [RE-POST]
Teen Fiction[SUDAH DITERBITKAN OLEH GRASINDO] Jujur saja, saat di balkon tadi Bani sama sekali tidak membalas pelukan Dinda. Bukan karena dirinya yang tidak mau memeluk Dinda, karena percayalah, sejak awal Bani dan Dinda duduk bersisian di balkon, satu-satunya...