Gara-gara sepatu, Dinda sekarang tengah lapar berat karena belum makan apa-apa di pesta tadi. Dan sesampainya di rumah Dinda, Bani akhirnya menyadari wajah merana gadis itu.
"Lo kenapa?" tanya Bani pada akhirnya setelah sejak tadi diam saja selama perjalanan.
Dinda memberanikan diri menatap balik Bani. "Udah nggak marah?" tanyanya takut-takut.
Bani menghela nafas. "Gue nggak marah sama lo," katanya. "Tapi gue nggak suka liat lo deket-deket sama Petra."
Dinda mengangguk paham. "Gue tau, setelah apa yang pernah dilakuin ibunya ke lo dan tante Ambar, gue ngerti kenapa lo punya perasaan was-was ke Petra." Dinda lalu menyentuh pelan alis Bani yang bersatu karena kernyitan di dahinya. Diusapnya lembut kedua belah alis tebal itu. "Tapi lo nggak perlu khawatir. Ini cuma gue, Dinda si gadis boncel yang nggak punya keistimewaan apa-apa selain cerewet dan ceroboh. Dia nggak akan tertarik untuk merebut gue dari lo."
Bani memegang tangan Dinda yang sedang mengelus lembut alisnya. Ditatapnya Dinda tajam. "Justru karena itu lo, Nda. Justru karena itu lo makanya gue takut." Bani bergerak ingin menarik Dinda dalam pelukannya namun cewek itu refleks mundur sampai punggungnya menubruk pintu mobil.
Hal itu lantas membuat Bani menatapnya bingung sekaligus kecewa. Dinda menolak pelukannya.
"Gue lagi nggak pake jaket bunda lo, Ban! Bentar ya gue ambil dulu di dalem," kata Dinda sambil bersiap untuk turun namun tangan Bani justru menariknya ke dalam pelukan.
"I want to hug you, Nda. Bukan karena bunda. Tapi sebagai diri lo sendiri, Adinda."
Dinda menegang. Tapi hanya sebentar karena tubuhnya langsung meluruh di dalam pelukan Bani. Terasa pas.
"Ayah minta maaf," ucap Bani setelah beberapa saat mereka berdua hanya diam saling memeluk.
Dinda melepaskan pelukannya untuk bisa melihat ekspresi Bani tetapi cowok itu justru mengencangkan pelukannya. "Ayah minta maaf sama gue dan mau mengulang semuanya dari awal."
Dinda akhirnya kembali melingkarkan tangannya ke tubuh Bani. "Terus lo jawab apa?" tanyanya pelan.
Bani diam beberapa menit. Hanya ada deruh nafasnya yang terdengar di dalam mobil. "Gue nggak tau, Nda. Gue nggak tau apa gue bisa," ucapnya sambil semakin membenamkan wajah di rambut Dinda. Menghirupi aroma shampo yang Dinda pakai.
"Gue tau itu nggak gampang dan nggak bisa instan. Seenggaknya lo bisa mencoba pelan-pelan, Ban," kata Dinda lembut.
Sepertinya semalaman ini Dinda sedang bertransformasi jadi pendengar dan pemberi nasehat yang baik untuk tiga orang sekaligus. Mulai dari Hadian, Petra dan Bani.
Hah, sepertinya Dinda jadi tau jurusan apa yang nanti akan dipilihnya saat kuliah.
Kruuuk.
Dinda memejamkan matanya ketika suara itu membahana di sepunjuru mobil. Suara yang sangat keras dan amat jelas muncul dari perutnya. Kampret!!!
Bani refleks melepaskan pelukannya dan menatap Dinda. "What the hell was that?" tanyanya tidak percaya. "Perut lo? Lo belum makan?"
Dinda nyengir sambil mengusap pelan perutnya. "Belum," katanya sambil tertawa malu.
"Nda, ini udah malem! Tukang makan kayak lo bisa mati kalau telat makan!" seru Bani heboh.
Dinda mendengus. "Lebay, anjing."
"Bodo. Ayo cari makan!" kata Bani sambil kembali memutar tubuhnya ke depan dan bersiap untuk menarik rem tangan sebelum Dinda menahan tangannya melakukan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity [RE-POST]
Teen Fiction[SUDAH DITERBITKAN OLEH GRASINDO] Jujur saja, saat di balkon tadi Bani sama sekali tidak membalas pelukan Dinda. Bukan karena dirinya yang tidak mau memeluk Dinda, karena percayalah, sejak awal Bani dan Dinda duduk bersisian di balkon, satu-satunya...