22- Menunggu Malam

63.9K 5.2K 412
                                    

Dinda menunggu Bani membuka pintu unit apartemennya dengan passcode dalam diam. Di tangannya Dinda menenteng bungkusan berlogo supermarket yang terletak di lantai bawah apartemen Bani tersebut. Isinya adalah amunisi untuk obrolan panjang nanti malam. Itu kata Bani.

Dinda mendongak ketika suara klik pertanda pintu terbuka terdengar, kemudian yang Dinda lakukan selanjutnya adalah melangkahkan kakinya memasuki unit apartemen tersebut setelah melepaskan sepatunya.

"Kita mau ke atap sekarang?" tanya Dinda setelah meletakkan belanjaan di tangannya ke atas meja bar.

Bani rupanya sedang berada di kamarnya entah melakukan apa, tapi karena pintu kamar yang dibuka dia masih bisa mendengar suara Dinda dan menjawab, "Nanti aja malem, abis magrib! Shalat dulu."

Dinda mengerjap. Apa dia tidak salah dengar? Bani shalat? Bukannya meremehkan soal keimanan cowok itu, hanya saja...Bani? Memang benar, seseorang itu tidak bisa dilihat dari luarnya saja.

Bani kemudian keluar dari kamarnya dengan kaos hitam polos dan celana pendek selutut. Baju santai ala Bani. Santai tapi kampretnya tetap terlihat keren. Huh!

Bani kemudian menghampiri Dinda yang sedang mendudukan tubuhnya di kursi tinggi bar. Kaki gadis itu yang tidak menyentuh tanah karena tingginya kursi bergoyang-goyang kecil. Mulutnya sibuk mengemuti es kiko beku rasa strawberry. Melihat Bani, Dinda langsung mengacungkan es yang sedang dinikmatinya itu. "Bagi ya Ban, gue tadi ambil dari kulkas lo, hehe." Lalu Dinda kembali melanjutkan menikmati es tersebut.

Bani berdecih. "Itu punyanya si bibi, kalo lagi kesini bersih-bersih bibi suka sambil ngemutin gituan."

Dinda terbelalak terkejut sambil melepaskan es tersebut dari mulutnya. "Yaaah, terus gimana dong? Nggak enak gue masa makan punya orang, gue kira punya lo," kata Dinda sambil memasang wajah bersalah.

Bani menggeleng. "Nggak apa-apa, gue juga suka minta, lagian duit buat belinya 'kan dari gue." Lalu Bani memperhatikan Dinda yang kakinya mengatung tidak mencapai tanah karena duduk di kursi bar yang tinggi. "Sumpah, lo bener-bener bogel ya ternyata?" kata Bani sambil tertawa dan berlalu ke depan TV.

Dinda melotot sambil melanjutkan memakan esnya. "Gue timpuk ya, lo?"

"Timpuk aja kalo berani, palingan entar lo gue lempar dari balkon." Jawaban Bani sukses membuat Dinda bungkam. Dan akhirnya Dinda memilih diam sambil menghabiskan esnya.

"Ban," panggil Dinda saat dia sudah selesai menikmati esnya dan melempar bungkusnya ke tong sampah. Saat itu Bani sedang duduk bersila di depan tv, sambil mengobrak-abrik tumpukan kaset PS.

"apa?" sahut Bani dengan tangan dan mata yang kini berfokus kepada tumpukan kaset di depannya.

Dinda mendengus. "Pinjem laptop dong," katanya sambil melompat turun dari kursi bar. Nasib karena kakinya yang tidak mencapai tanah saat duduk di kursi tinggi tersebut.

Bani menunjuk ke arah kamarnya. "Ambil aja, di atas meja belajar."

Dinda menatap pintu kamar Bani horor. "Hah? Ke kamar lo?" tanya Dinda takut.

Bani mengangguk. Tatapannya sama sekali tidak teralih dari layar TV. Bani benar-benar seperti orang idiot kalau sudah berhubungan dengan game konsol satu itu.

Dinda mendengus. "Nggak enak, ih!"

"Yaelah, masuk aja sih. Nggak ada apa-apa," kata Bani cuek. Tangannya sudah sibuk bergerak-gerak asyik di atas joystick. "Palingan ada pocong," tambahnya jail.

Dinda sontak mundur selangkah dari tempatnya berdiri. "Anjir, ih! Sumpah gue timpuk lo beneran ya! Jangan sebut-sebut gituan, dong."

Bani terbahak, tidak menyangka Dinda yang dulu di Lembang bahkan rela keluyuran ke rumah joglo hanya demi makanan dan segelas coklat panas ternyata takut dengan makhluk halus. "Masih sore, Nda. Baru juga jam lima!" kata Bani tanpa menghentikan sama sekali permainannya.

Infinity [RE-POST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang