27- Kebodohan Yang Melukai

58.9K 5.2K 124
                                    

Saat Dinda tidak menemukan Bani di mejanya, perasaan Dinda mulai gelisah. Apalagi saat Farhan memberitau Dinda kalau Bani bolos dua jam pelajaran terakhir. Bani jelas-jelas sedang merencakan sesuatu bersama Martin. Kata-kata Friska waktu itu benar-benar mempengaruhi pikiran Dinda untuk berpikiran negative terhadap kedekatan Bani dan Martin yang beberapa hari lalu dilihatnya di gedung olahraga.

Jadi, Dinda memutuskan untuk membereskan barang-barang Bani yang dengan masa bodonya ditinggal begitu saja dalam keadaan mengenaskan di kelasnya.

Dan dalam hati Dinda berjanji akan menonjok Bani nanti. Janji.

Dengan cekatan Dinda pun pergi dari kelas Bani membawa ransel cowok itu bersamanya.

Ketika Dinda sedang berpikir kemana dia harus mencari Bani, dia melihat sosok jangkung Martin melintas dengan terburu-buru bersama Rifki dan beberapa murid yang terkenal dengan tabiat buruknya ke arah parkiran. Melihat itu lantas Dinda langsung mengejar mereka, siapa tau ada Bani di sana.

Dinda menghadang jalan Martin saat lelaki itu berusaha mengeluarkan motornya dari barisan motor yang terparkir.

Tatapan Martin menyiratkan keheranan saat Dinda, sosok yang tidak dikenalnya sedang berdiri menghadang jalannya.

"Ngapain lo di situ?" tanya Martin tanpa mau repot mematikan mesin motornya yang menyebabkan kebisingan di area parkir tersebut.

Dinda menatap Martin dengan tatapan protes terhadap kebisingan mesin motornya sehingga terpaksa Martin mematikan mesin motornya.

"Apaan?" tanyanya sekali lagi.

Dinda menurunkan tangannya yang sejak tadi terbuka untuk menghadang jalan Martin. Martin mendengus, apa yang sebenarnya diinginkan cewek mungil di depannya ini? Bahkan Martin, jujur saja tidak mengenal siapa sosok ini.

"Wey, Dinda," kata Martin setelah melirik bet nama di seragam Dinda. "Cepetan ngomong ada apaan? Gue udah ditinggal sama yang lain! Kalo lo cuma pingin diem aja di situ, lebih baik lo minggir!"

"Mana Bani?"

Pertanyaan Dinda sukses membuat Martin mengernyit. "Oh, jadi lo ngehadang gue cuma buat nanyain Bani? Lo pacarnya?"

Dinda tidak menjawab pertanyaan Martin. Dinda memasang wajah datar. Padahal dalam hati Dinda sudah ketakutan kalau-kalau dirinya dihajar tangan besar Martin.

Martin menghela nafas seraya menyalakan kembali mesin motornya. "Pulang, gih! Bani gak bakal seneng kalo gue ngasih tau lo."

Menurut Martin, ada alasan kenapa Bani tidak memberitaukan gadis di depannya ini tentang rencananya, jadi tanpa Bani memberikan perintah untuk menyembunyikannya, Martin sudah berinisiatif untuk tidak membeberkan apapun pada Dinda. Tetapi Martin juga tau hanya dengan melihat wajah Dinda saja, cewek itu terlalu keras kepala untuk menyerah dan menurut padanya.

"Lo kasih tau gue di mana Bani atau lo gak akan kemana-mana sama sekali." Dinda mengancam sambil merentangkan tangannya untuk menunjukkan pada Martin kalau Dinda serius.

"Gue bisa aja nabrak lo," ancam Martin balik.

"Gue juga bisa ngelaporin lo." Jawaban tegas Dinda membuat mau tidak mau Martin menghela nafas menyerah. Cewek mungil ini terlalu keras kepala untuk dia lawan dan melawan cewek tidak pernah ada di dalam kamus seorang Martin.

"Oke-oke, ikut gue!" Dengan sangat terpaksa Martin menyuruh Dinda naik ke jok belakang motornya. "Pokoknya lo yang tanggung jawab kalau Bani marah, ngamuk atau sejenisnya."

"Nggak akan," jawab Dinda yakin. "Bani nggak akan marah. Yang ada gue yang marah sama dia."

***

Mereka berkendara ke daerah yang cukup sepi. Dinda tidak paham kenapa Martin membawanya ke sebuah proyek bangunan yang belum jadi.

Infinity [RE-POST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang