Bani dengan sebuket bunga tulip di tangannya membuka perlahan pintu berkusen kayu jati. Keadaan gelap langsung menyapanya. Hanya ada dua lampu kuning menyala di sisi pembaringan kamar tersebut. Menampakkan sedikit bayang seorang gadis yang tengah terlelap di atasnya.
Bani tersenyum lembut, ditutupnya pintu itu dan dihampirinya sosok gadis yang tengah terlelap itu. Gadisnya. Dinda.
"Nda, maafin gue," ucapnya pelan bahkan nyaris seperti sebuah bisikan. Digenggamnya jemari mungil Dinda yang terasa pas di tangannya. Seolah tangan mereka sudah tercipta untuk satu sama lain. Dikecupnya dengan lembut tangan mungil itu.
Bani menarik kursi kecil ke sisi tempat tidur Dinda. Digenggamnya tangan itu erat tapi tanpa mengganggu tidur sang empunya tangan.
Bani merebahkan kepalanya di sisi tubuh Dinda, sesekali cowok itu mengelus-elus tangan Dinda dengan jempolnya dan semakin lama Bani pun ikut terlelap.
Dinda terbangun karena merasakan kehadiran seseorang di sisinya. Ketika kedua matanya terbuka lebar, suasana remang yang menyapanya, hanya ada satu lampu tidur yang menyala. Kenapa sepi banget? pikirnya.
Namun, hal itu sangatlah wajar karena jam pasti sudah menunjukkan tengah malam. Dinda melihat sekeliling dan sadar kalau dia sendirian di kamar Bani.
Kemana Mama dan Papanya?
Heriska dan Raihan langsung berangkat ke Lembang begitu mendapat kabar bahwa Dinda diculik. Kebetulan Heriska dan Raihan sedang berada di Bandung, di rumah orang tua Heriska berlibur.
Tadi Dinda sempat sadar begitu sampai di rumah Bani dan bertemu sebentar dengan orang tuanya sebelum akhirnya Dinda kembali tertidur karena kelelahan dan masih shock.
Dinda masih belum menyadari keberadaan Bani. Ketika tangannya berusaha meraih ponselnya di atas meja nakas, tangannya menyentuh kepala Bani, karena pencahayaan yang minim Dinda tidak bisa melihat dengan jelas benda apa yang disentuhnya barusan.
"Ini apaan?" ucapnya dengan takut. Disentuhnya sekali lagi benda berbulu itu, dan ketika jemarinya menyentuh benda itu, Bani langsung mengenali tekstur bulu yang sebenarnya adalah rambut seorang laki-laki. Rambut itu menyentuh jemarinya dan membuatnya langsung tersenyum setelah sebelumnya terkejut.
"Bani," Dinda menepuk-nepuk kecil pipi pacarnya. Tidak tega melihat cowok itu dengan posisi kepala menelungkup di atas kasur sedangkan tubuhnya duduk di sebuah kursi, yang ada besok cowok itu encok.
"Bani, bangun Ban," diusapnya kepala Bani dengan penuh sayang.
Tidak menunggu lama, Bani mulai mengerjapkan matanya, setelah matanya mulai sudah terbiasa dengan cahaya, cowok itu tersenyum manis memandang Dinda yang juga sedang menatapnya.
"Hai," sapa Bani sambil menyubit pelan pipi Dinda.
Dinda tersenyum kecil, "Hai juga. Pegel ya, Ban?" tanya Dinda tidak enak.
Bani menggeleng. "Enggak, gue baru tidur sebentar kok. Lo pusing?" tanya Bani sambil menyentuh lembut pipi Dinda.
Dinda menggeleng. "Enggak kok. Kayaknya gue udah cukup tidur." Dinda lalu menoleh ke sekeliling. "Yang lain udah balik ke Jakarta, ya?" tanya Dinda.
Bani mengangguk, namun dahinya mengernyit, "Kok tau? Lo 'kan tidur seharian."
"Gue sempet denger pas Reta sama Audy pamit sama gue. Tapi gue kira gue cuma ngelindur, ternyata bener , ya?"
Bani mengangguk. Tatapannya berubah sendu membuat Dinda mengernyitkan dahinya tidak suka. Tangan Dinda langsung terulur menyentuh pipi Bani dan dicubitnya pipi itu.
"Apa sih, kok tatapan lo kayak gitu? Gue lebih suka lihat lo ngasih tatapan tajem ke gue daripada kayak gitu."
Bani terkekeh. "Jadi lo lebih suka kalau gue marah-marah sama lo?" tanya Bani sambil menjawil gemas hidung Dinda.
Dinda tertawa pelan. "Dulu awal-awal gue masih awkward setiap lo manis-manis ke gue. Soalnya gue udah biasa diomelin sama lo," kata Dinda sambil mengingat-ingat hubungannya bersama Bani yang dulu.
Bani menopang dagunya untuk mendengarkan Dinda lebih lanjut. "Terus? Kalau sekarang masih awkward?" tanya Bani.
Dinda menggeleng. "Ya masih rada nggak percaya aja sih, tapi udah lebih biasa. Malah gue gemes gitu kalau lo udah manis-manis ke gue."
"Cuma lo doang yang bisa bikin gue kayak gitu, Nda," ucap Bani serius. Bani menggenggam tangan Dinda dan mendekatkan tangan itu ke pipinya. "Lo itu kayak hujan di tanah tandus, Nda. Membawa perubahan, membawa kesegaran. Dan jelas yang lo bawa itu adalah hal yang positif."
Dinda mencoba bangkit dan mendudukkan tubuhnya membuat Bani ikut bangkit untuk membantu Dinda duduk.
Bani pun duduk di samping Dinda, membiarkan pacarnya itu bersandar di dadanya.
Dinda bisa merasakan Bani mencium pelipisnya. "Nda, gue mau ngomong serius," ucap Bani membuat Dinda menegakkan tubuhnya demi melihat ke wajah Bani.
"Ngo--ngomong apa?" Entah kenapa perasaan Dinda langsung tidak enak. Sejak tadi Dinda bisa menangkap ekspresi bersalah dari wajah Bani namun cowok itu berusaha menutupinya dan Dinda berpura-pura tidak tau akan hal itu.
Dinda takut akan kelanjutan yang akan dia dengar. Dinda takut kalau setelah ini Bani akan mengatakan sesuatu yang tidak pernah ingin di dengarnya.
Sebuah perpisahan.
"Gue ngerasa gagal buat jagain lo kemarin, gue ngerasa gagal jadi cowok yang bisa lo anda--" Dinda membekap mulut Bani sambil menggeleng cepat.
"Apaan sih, Ban! Ini nggak ada kaitannya sama lo. Kemarin itu 'kan nggak ada yang tau bakal ada kejadian gitu. Itu bukan salah lo!"
Bani melepas tangan Dinda dari mulutnya. Dibekapnya pipi Dinda agar gadisnya itu menatap manik matanya. "I know, itu bukan salah gue. Tapi kalau gue nggak lengah dan lebih jagain lo, kejadian ini nggak bakal kejadian."
Dinda mendorong Bani. Matanya memerah menahan tangis. "Terus lo mau kita putus, iya?" Dinda memukul dada Bani, mengekspresikan kekesalannya. "Lo udah mau nyerah karena merasa satu kali gagal jagain gue?"
Dinda tidak bisa lagi menahan tangisnya. Bani tidak bereaksi, tidak berusaha juga menenangkan Dinda dan mengatakan kalau Dinda hanya salah paham membuat Dinda semakin putus asa akan kisah cintanya.
"Lo yang bilang lo mau gue terus ada di sisi lo, Bani! Gue udah di sini, gue terus ada di sisi lo, tapi kenapa lo nyerah? Kenapa lo yang milih buat pergi!"
Dinda merasakan pelukan Bani melingkupinya. Dinda menangis di dada Bani. "Gue nggak mau putus, Bani..., gue nggak mau, gue nggak bisa," lirih Dinda. Dinda mencengkram ujung kaos yang Bani kenakan. Dia merasakan pelukan Bani di tubuhnya mengerat. Ya, pelukannya mengerat tapi kata-kata yang ingin Dinda dengar dari mulut Bani tidak kunjung terdengar. Kata-kata yang memberi tau Dinda kalau ini bukanlah akhir cerita mereka.
Jadi, inilah akhir cerita mereka?
***
Berlanjut ke Remedy
[Sequel of Infinity]Ini bukan tentang memaafkan,
Ini tentang mereka yang sedang berusaha memperbaiki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity [RE-POST]
Dla nastolatków[SUDAH DITERBITKAN OLEH GRASINDO] Jujur saja, saat di balkon tadi Bani sama sekali tidak membalas pelukan Dinda. Bukan karena dirinya yang tidak mau memeluk Dinda, karena percayalah, sejak awal Bani dan Dinda duduk bersisian di balkon, satu-satunya...