Sudah seminggu sejak semester baru dimulai, selama itu pula Dinda tidak pernah melihat batang hidung Bani sekalipun di sekolah, Dinda beberapa kali melihat anggota The Fabs yang berkumpul di kantin tetapi Dinda tidak dapat melihat Bani diantara mereka.
Sejujurnya Dinda sungguh-sungguh tidak ingin peduli. Selain karena Bani bukan siapa-siapanya, Bani juga lah orang yang sudah membully Dinda. Tapi sepertinya pemandangan saat Bani menangis dan terlihat begitu hancur di depan mata Dinda tidak bisa ia abaikan begitu saja.
Dinda mendesah frustasi sambil merebahkan kepalanya di atas meja membuat Reta teman sebangkunya serta Audy yang duduk di depannya menatap Dinda dengan alis tertaut.
"Din, lo kenapa? Kok lesu amat?" tanya Reta khawatir.
Audy ikut menganggukkan kepalanya. "Iya Din, lo kenapa? Kayaknya waktu lo masih di gangguin sama The Fabs lo lebih semangat dari ini, deh."
Dinda mengangkat kepalanya sejenak untuk menatap Audy. "Apasih kok bawa-bawa The Fabs?" tanyanya tidak terima. Padahal kenyataannya memang lesunya Dinda ada sangkut pautnya dengan The Fabs atau lebih tepatnya, dengan ketua geng The Fabs.
"Jangan-jangan lo lesu gara-gara nggak digangguin sama Bani lagi?" Pertanyaan polos Audy sukses mendapat keplakan dari Reta.
"Ngaco, yakali dibully malah seneng!"
Audy hanya bisa meringis sambil memegangi kepalanya. Lalu tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Eh iya, tapi kayaknya seminggu ini emang gue sama sekali belum ngelihat si Bani, deh. Apa dia nggak masuk, ya?" tanya Audy.
Reta mengedikkan bahunya acuh. "Biarin deh dia nggak masuk, rasanya tuh sekolah jadi was-was kalau ada dia, seolah semua gerak-gerik murid angkasa diawasin sama The Fabs." Reta lalu membenarkan posisi duduknya. "Geng nggak berguna."
Audy mencibir. "Halah, lo ngomong gitu beraninya di belakang doang tapi nggak berani kalo ngomong langsung kayak Dinda."
Reta mencebikkan bibirnya. "Takutlah, gue! Gila apa ya, yang nekat kayak gitu 'kan emang baru Dinda doang!"
Dinda yang kini menjadi bahan pembicaraan kedua temannya hanya diam saja dan memilih kembali merebahkan kepalanya. Dan lagi-lagi, Dinda memikirkan Bani.
Is he really okay?
***
Dinda menatap papan bertuliskan R. Tata Usaha tersebut sambil merutuk kecil. Kenapa pula Dinda bisa sampai di sana, kenapa juga bahkan Dinda punya pikiran untuk 'kesana'. Dinda tidak habis pikir, akhirnya dia berbalik badan dan memutuskan untuk pulang. Tapi ketika Dinda berbalik, saat itu juga Dinda merasakan kakinya sulit melangkah. Ah, Dinda frustasi! Kenapa otak dan hati itu tidak pernah bisa sejalan? Bukankah kendali tubuh manusia semua ada pada otak? Tapi kenapa otak selalu menuruti apa yang hati katakan?"Fix gue nggak bakal bisa tenang kalau gue nggak ngelakuin ini. Iya." Akhirnya Dinda pun kembali berbalik ke arah ruang TU menuntaskan apa yang sejak tadi hatinya katakan.
Anggep aja ini cuma rasa turut berbelasungkawa Din karena tante Ambar itu sahabatnya mama.
Dinda menarik nafas sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam ruang tersebut. Setelah masuk ke dalam Dinda langsung menemui staff TU yang mengurusi data-data siswa. Setelah menjawab ini itu, akhirnya Dinda mendapatkan yang ia minta. Alamat rumah Bani. Iya, jadi entah mendapat ide gila darimana, Dinda berencana untuk mengunjungi Bani. Karena menurut Dinda jika dia tidak melakukan ini maka Dinda akan sulit hidup tenang.
Dinda menolak mengakui kalau dia khawatir pada Bani dan meyakinkan diri sendiri bahwa dia hanya merasa iba dan berbelasungkawa. Hanya itu.
Ketika Dinda keluar dari ruang TU, Dinda berpapasan dengan seorang cowok yang mengenakan baju bebas. Semula Dinda tidak menyadari wajah cowok itu sampai dia dipanggil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity [RE-POST]
Teen Fiction[SUDAH DITERBITKAN OLEH GRASINDO] Jujur saja, saat di balkon tadi Bani sama sekali tidak membalas pelukan Dinda. Bukan karena dirinya yang tidak mau memeluk Dinda, karena percayalah, sejak awal Bani dan Dinda duduk bersisian di balkon, satu-satunya...