6. Dilarang Sok Tahu
Selepas kepergian Heriska dan Ambar, Dinda memilih untuk mendekam di dalam kamar tamu yang sementara ini menjadi kamarnya sambil menonton DVD koleksi milik tante Ambar yang kebetulan cukup lengkap. Mulai dari film lama sampai yang terbaru semua tersedia, ditambah juga berbagai macam serial tv yang lengkap dari serial tv Amerika, drama Korea, dorama Jepang. Dan hal ini benar-benar bagaikan surga untuk Dinda, secara Dinda adalah penggemar berat film dan serial tv. Selain itu, menonton DVD juga bisa meminimalisir pertemuan Dinda dengan Bani. Saat Ambar dan Heriska ada di rumah saja Bani masih berani mengancam Dinda, apalagi kalau mereka tidak ada? Hah!
Dinda kira dia bisa bertahan sampai tante Ambar dan ibunya pulang jalan-jalan, tapi sayangnya Dinda menyerah di film ke-tiga. Perut Dinda menjerit-jerit minta diisi dan hal ini menyebabkan kegalauan yang tidak masuk akal. Dinda sedang menimang-nimang lebih baik mana, mati di tangan Bani atau mati karena kelaparan?
Dan kegalauan Dinda terusik ketika pintu kamarnya diketuk--lebih tepatnya digedor--dengan tidak manusiawi. Kalau pintu kamar itu benda hidup sudah pasti dia menjerit-jerit kesakitan.
"Yaa sebentar!" teriak Dinda untuk memberitau orang yang sedang menggedor pintu itu bahwa dia mendengarnya--sangat mendengarnya.
Ketika pintu terbuka Dinda refleks mundur selangkah begitu melihat sosok menjulang yang tinggi di depan pintu. Iya, siapalagi kalau bukan Bani.
Dinda mengerjap terkejut, "nga--ngapain lo?" tanya Dinda.
Bani menatap wajah Dinda dengan datar. "Sopan amat lo sama tuan rumah."
Dinda berdecih. "Plis ya ini tuh rumah tante Ambar, lo mah bodo amat."
"Enam bulan kayaknya masih nggak cukup ya buat bikin lo sadar lo lagi berhadapan sama siapa?"
Dinda mengerjapkan matanya mendengar nada bicara Bani yang menguarkan aura intimidasi yang kuat. Dinda benci karena dia selalu berada di situasi ini setiap berhadapan dengan Bani. Di situasi orang yang terintimidasi.
"Enam bulan kayaknya masih nggak cukup ya buat bikin lo belajar kalo gue itu nggak takut sama lo?" tanya Dinda membalikkan pertanyaan Bani.
Bani menghela napas, hari ini dia sedang tidak mood berdebat dengan siapapun terutama gadis mungil di depannya. "Cepet ambil jaket lo, gue tunggu di depan." Setelah berkata demikian Bani langsung berbalik begitu saja meninggalkan Dinda.
Dinda menganga. Apaansih? Emang dia pikir dia siapa bisa merintah-merintah gue kayak gitu? Dia pikir gue ma--
"Lima menit lo gak keluar, gue balik ke sini buat nyeret lo."
Kampret!
Dengan sangat terpaksa Dinda bergegas mengambil jaketnya dan menghampiri Bani yang menunggu di luar.
Bani yang sedang bersandar pada tembok langsung menegakkan tubuhnya ketika Dinda berjalan menghampirinya dengan wajah cemberut. Begitu Dinda sudah berdiri di hadapannya, Bani berdecak cukup keras membuat Dinda mengernyitkan dahi karena bingung.
"Gak ngerti lagi gue, goblok kok dipelihara."
What? Apa barusan dia bilang? Batin Dinda.
"Maksud lo apa, anjir?" tanya Dinda nyolot. Iyalah, bagaimana nggak nyolot kalau tiba-tiba dikatain goblok. Padahal Dinda sudah menuruti perintah Bani tanpa banyak bicara tapi yang Dinda dapat justru hinaan.
"Ya lo mikir aja apa gunanya lo pake jaket kalo lo masih pake celana pendek?" Mendengar pertanyaan tersebut refleks Dinda menatap ke arah celananya. Benar saja, Dinda masih mengenakan celana pendek tidurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity [RE-POST]
Teen Fiction[SUDAH DITERBITKAN OLEH GRASINDO] Jujur saja, saat di balkon tadi Bani sama sekali tidak membalas pelukan Dinda. Bukan karena dirinya yang tidak mau memeluk Dinda, karena percayalah, sejak awal Bani dan Dinda duduk bersisian di balkon, satu-satunya...