34- Kejutan

63.3K 5.7K 731
                                    

Keesokan harinya, Bani lagi-lagi menghabiskan waktu merokoknya di halaman belakang bersama Farhan.

Sambil melepuskan asap beracun dari mulutnya, Bani akhirnya memanggil Farhan. "Han," panggilnya.

Farhan mengernyit sambil menolehkan kepalanya ke arah Bani. Mereka memang kerap kali merokok bersama akhir-akhir ini. Tapi Bani yang mengajaknya mengobrol bisa dihitung dalam hitungan jari. Paling hanya sekedar menanyakan tugas atau pinjam korek. Dan kalaupun mereka ngobrol sudah pasti Farhan yang memulai duluan.

Intinya sih begitu. Jelas sekarang Farhan bingung karena Bani memanggilnya. "Kenapa?" tanyanya.

"Lo dari kapan temenan sama Dinda?" tanya Bani tanpa memandang ke arah Farhan. Cowok itu malah melihat kepulan asap rokok yang baru saja dia hembuskan.

"SD. Kenapa emang?" tanyanya bingung.

Bani menggeleng. "Dinda orangnya emang selalu perhatian sama orang lain?"

Farhan kembali memperdalam kernyitannya, bingung. "Biasa aja. Tapi emang kalo ada anak tetangga yang jatoh pas kita lagi main sepeda bareng, Dinda yang bakalan heboh ngobatin."

Bani mengangguk singkat.

Farhan menaikkan sebelah aliasnya karena tidak ada pertanyaan lanjutan dari Bani yang Farhan ekspetasikan. "You love her, don't you?"

Bani tidak menjawab. Dia memilih menghisap dalam rokoknya sebelum melepuskan asap yang ia kumpulkan di mulutnya perlahan. "I have no idea about love, actually. Gue nggak kenal cinta. Satu-satunya cinta yang gue tau adalah cinta ke nyokap."

"Kalo gitu gampang. Tinggal lo amatin perbedaannya. Cinta ke nyokap itu udah pasti cinta murni. Nggak ada nafsu sama sekali. Bukannya pikiran gue kotor, tapi kita get real aja." Farhan diam sejenak sambil menjetikkan rokoknya ke tanah. "Kalo sama cewek yang lo suka, pasti namanya rasa pengen nyium, meluk bahkan ke arah yang ngaco sekalipun itu ada. Bukan berarti lo jadi cinta karena lo cuma pengen dapet itu aja, tapi. Tapi kadang cinta bisa disampain lewat ciuman sama pelukan."

"Gue sering nyium dan meluk nyokap gue," kata Bani datar.

Farhan mendengus. "Ya tapi nggak pernah ngebayangin pengen anuin 'kan?"

Bani menatap Farhan sinis. "Gila lo."

"That's what I mean. Ya gue juga nggak bisa jelasin sih cinta itu apa soalnya cinta emang nggak punya definisi yang hakiki. Cinta punya banyak definisi. Tapi," Farhan menepuk pelan bahu Bani. "Hati lo bakal tau man, kalau lo cinta atau enggak sama seseorang."

Bani mendengus. "Lo emang punya cewek?" tanya Bani.

Farhan mengedikkan bahu. "Lagi proses."

Tiba-tiba Bani merasa kepo. "Siapa?" Dan baru kali ini Bani penasaran dengan urusan orang selain Dinda. Hebat.

Farhan menaikkan sebelah alisnya. "Dinda..."

Melihat Bani terlihat mengeraskan rahangnya, Farhan buru-buru menambahkan, "Dinda's friend! Temennya Dinda! Lo tuh ya, posesif amat."

Bani mendengus. Dari awal dia melihat Farhan, dia tau cowok itu memang mengesalkan. Tapi Bani juga tidak bohong kalau sedikitnya dia sudah menganggap Farhan teman. Meskipun baru sekedar teman merokok.

***

Sepulang sekolah Dinda tidak langsung ganti baju dan memilih bersantai di atas kasur sambil menikmati setoples kripik singkong balado.

Rambut hitamnya sudah dia gelung ke atas secara asal, kemeja seragamnya sudah mencuat keluar dari dalam rok dan sudah tidak licin lagi karena dipakai berguling-guling di atas kasur.

Infinity [RE-POST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang