4- Ancaman yang Gagal

103K 7.3K 105
                                    

4. Ancaman yang Gagal

Dinda menaikkan tudung sweaternya untuk menutupi kepalanya dengan harapan setidaknya bisa mengurangi sedikit saja rasa dingin yang menderanya. Padahal Dinda lahir dan besar di Bandung, udara dingin pegunungan sudah menjadi santapan sehari-hari dan harusnya Dinda sudah terbiasa. Masa baru enam bulan pindah ke Jakarta saja Dinda jadi sebegini cemennya hanya untuk melawan udara dingin.

Ah, bodo amat, dingin ya dingin. Nggak ada urusannya sama lahir dan besar dimana. Buktinya orang-orang eropa juga tetap saja kedinginan setiap musim dingin. Ok, stop membahas dingin-dinginan karena saat ini Dinda sedang bertarung melawang dinginnya udara Lembang yang seakan menusuk tulang hanya untuk segelas coklat panas.

Lucu sekali, Dinda berniat membuat coklat panas untuk menghangatkan tubuh tapi untuk membuatnya itu berarti Dinda harus menyebrangi halaman yang membatasi bangunan yang Dinda tempati dan rumah joglo tempatnya bisa menyeduh coklat panas.

"Harusnya gue minta sama tante Ambar aja buat bawa bubuk coklat panasnya ke rumah sebelah, jadi gue gak perlu menantang maut begini. Brrrr, dingin!" gerutu Dinda sambil setengah berlari agar cepat sampai ke rumah joglo. Halaman yang tadi siang Dinda puji keindahannya itu kini tidak lagi indah bagi Dinda, yang ada justru menyusahkan. Iya, karena ukurannya yang sangat luas!

"Gila banget, tadi gue yang bilang sendiri Lembang udah gak sedingin dulu tapi sekarang rasanya gue mau beku saking dinginnya!" Lagi-lagi Dinda menggerutu meskipun kini kakinya sudah menginjak lantai kayu rumah joglo.

Dinda membuka pintu samping yang langsung tersambung ke dapur. Dan hal pertama yang Dinda dapati adalah sepi. Hanya terdengar samar-samar suara televisi terdengar dari arah ruang keluarga.

Sebenarnya tante Ambar sudah memberikan izin bebas kepada Dinda untuk menganggap rumah ini sebagai rumahnya sendiri yang itu berarti Dinda bebas untuk melakukan apa saja, termasuk menggeratak dapur. Tapi Dinda dididik untuk jadi anak yang sopan santun oleh sebab itu Dinda memilih untuk setidaknya minta izin kepada tante Ambar untuk menyeduh coklat panas di dapurnya, meskipun hal itu hanyalah basa-basi belaka.

Dinda melangkah ke arah sudut rumah joglo yang difungsikan sebagai ruang keluarga. Cahaya temaram langsung menyambut Dinda, hanya ada sebuah lampu kekuningan dan cahaya dari televisi yang menerangi ruang tersebut. Dan Dinda bisa melihat ada Ambar disana, tengah duduk sendirian. Setidaknya menurut sepenglihatan Dinda karena posisi Ambar yang membelakangi Dinda dan sandaran sofa menutupi tubuhnya sebatas punggung.

"Eum...misi tan," ucap Dinda pelan, takut mengganggu namun setidaknya cukup bisa didengar oleh Ambar yang langsung menolehkan kepalanya ke arah Dinda.

"Eh, Din, kenapa? Sini-sini..." Ambar terlihat senang dengan kedatangan Dinda meskipun dia sedikit terlihat terkejut juga. "Mau nonton, Din?"

Dinda tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Eh, enggak anu itu tan, Dinda boleh bikin coklat panas nggak?"

Ambar tertawa pelan, "kamu tuh ya, 'kan tante udah bilang anggep aja rumah sendiri, ambil aja kalau kamu mau apapun di dapur," katanya yang membuat Dinda cengengesan di tempat. Lalu Ambar kembali bertanya, "emang di dapur rumah sebelah nggak ada stok coklat panas, Din?" yang langsung dijawab Dinda dengan gelengan.

"Nggak ada tante, hehehe." Lagi-lagi Dinda hanya bisa cengengesan. Mungkin karena dia belum merasa begitu akrab dengan Ambar.

"Yaudah seduh aja gih, kalo mau ambil makanan di kulkas atau kue di lemari juga nggak apa-apa ya Din, nggak usah minta izin segala," ujar Ambar lembut.

Dinda mengulas senyum. Ah, bagaimana bisa wanita sebaik dan selembut tante Ambar punya anak yang jenisnya semacam Bani. Bukan jenisnya lagi tetapi memang anaknya tante Ambar itu Bani. Hah, Dinda masih tidak percaya fakta itu.

Infinity [RE-POST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang