Dinda terbangun ketika merasakan tepukan di pipinya. Dinda menggeliat sejenak sebelum akhirnya mendapatkan kesadarannya kembali.
"Lho, kok kita ke sini sih?" tanya Dinda saat sadar mobil Bani sudah berada di parkiran apartemen Bani dan bukan di rumahnya. "Gue mau pulang, Bani!"
Bani tidak menjawab dan memilih untuk melepaskan seatbelt yang terpasang di tubuh Dinda. "Ayo turun," katanya sambil membuka pintu.
Dinda bersikeras untuk tetap di dalam mobil. "Nggak, gue mau pu--"
"Turun, Dinda." Mendengar nada bicara Bani yang sedingin es membuat Dinda terpaksa menuruti Bani untuk turun dari mobilnya.
"Tadi pas kita ngambil mobil lo di sekolah katanya lo mau nganterin gue pulang?" tanya Dinda dengan nada yang jelas menunjukkan kalau dirinya kesal. "Pembohong!"
Bani yang berjalan dua langkah di depan Dinda otomatis berhenti membuat Dinda yang berjalan tanpa melihat ke depan menubruk punggung Bani. "Aduh!" ringis Dinda karena luka di kepalanya yang sudah dibalut terbentur punggung Bani.
Bani memutar tubuhnya demi menatap Dinda. Mereka berdua kini sedang berdiri di depan lift. Bani jelas sekali terlihat menahan emosinya. "Gue bakal anter lo pulang. Tapi ini dan ini," tunjuk Bani ke arah jidat dan dengkul Dinda, "Perlu diobatin."
Dinda menyentuh luka di dahinya. "Kan ini udah ditutup, darahnya juga udah berhenti."
"Ditutup sama diobatin beda, Nda." Bani menghela nafasnya. Sepertinya emosinya sudah mereda. Terbukti Bani kembali memanggil Dinda dengan 'Nda' bukan 'Dinda'. "Salah sendiri kenapa tadi lo nggak mau dikasih obat merah pas mampir ke UKS tadi?"
Bunyi lift terbuka menginterupsi perdebatan mereka. Kedua remaja itu pun langsung masuk ke dalamnya dan Bani langsung menekan lantai dua puluh.
Dinda menyandarkan tubuhnya di dinding kaca lift. "Gue takut perih," aku Dinda.
"Perihnya bakal cepet ilang kalo diobatinnya pas baru luka. Kalo sekarang perihnya malah makin lama," tandas Bani.
Dinda mendengus. "Iya tau deh yang udah terbiasa sama luka-luka," sindirnya.
Bani menoel hidung Dinda. "Nggak gitu, bogel."
"Apasih gue nggak bogel!" seru Dinda yang tidak terima dipanggil bogel. Meskipun dia memang kurang tinggi tapi dia nggak bogel. Baninya saja yang ketinggian!
"Bawel." Bani lalu langsung menyeret Dinda begitu pintu lift sudah terbuka. Dan karena tubuh Dinda yang jauh lebih kecil dari Bani dengan mudahnya gadis itu terseret.
***
"Bani sumpah ya ih takut!"Bani menghela nafas. "Buset deh, Nda, santai aja. Perih bentaran doang," katanya sambil mengulurkan kapas yang sudah dibubuhi obat merah.
Dinda memundurkan tubuhnya ketika tangan Bani sudah sangat dekat dengan lukanya. "Ih itu kebanyakan obatnya Bani! Pasti perih banget itu!" Dinda mendorong menjauh tangan Bani membuat cowok itu menggeram.
Kalau bukan karena yang ada di depannya saat ini adalah Dinda, sudah dia guyur sejak tadi orang itu dengan obat merah atau minyak tawon sekalian!
"Nda, merem aja. Lo emang nggak pernah jatoh terus lecet apa waktu kecil?" Bani kembali menarik tubuh Dinda untuk lebih dekat dengannya.
Dinda menggeleng. "Asal lo tau ya gue dulu waktu masih kecil tuh mainnya barbie, masak-masakan. Mana bisa begituan bikin gue lecet."
Bani terkekeh membayangkan Dinda yang galak dan kurang feminim main-mainan cewek seperti itu. "Iya? Terus-terus?" pancing Bani untuk mengalihkan perhatian Dinda.
Dan bodohnya Dinda terpancing.
"Iya. Terus tuh dulu gue seneng banget deh pokoknya bikin kerajaan gitu. Lengkap banget dari raja sampe pengawalnya ada. Sampe kadang kalau kekurangan boneka, gue jadiin botol-botol make upnya mama jadi pasukan gitu." Saat Dinda larut dalam ceritanya Bani mengambil kesempatan untuk menyelipkan tangannya ke tengkuk Dinda dan menarik Dinda maju lebih dekat ke arahnya.
"Baniiii!" jerit Dinda saat tengkuknya sudah ditahan Bani.
"Demi kebaikan lo." Lalu selanjutnya tangan Bani yang satunya langsung menempelkan kapas yang sudah terbubuh obat merah itu ke luka di dahi Dinda.
Dinda meringis saat merasakan perih begitu cairan obat itu menyentuh lukanya. Matanya memejam erat dan tangannya mencengkram lengan Bani yang tengah memegangi tengkuknya.
Bani merasakan kuku Dinda sedikit menancap di kulit lengannya tapi Bani tidak protes dan memilih untuk meneruskan proses mengobati Dinda.
Akhirnya proses pengobatan itu diakhiri dengan Bani yang membungkus luka Dinda dengan kain kassa.
"Coba daritadi. Nggak sakit 'kan?" tanya Bani sambil memasukkan peralatan yang tadi digunakannya kembali ke kotak p3k.
Dinda menggerutu. "Mana nggak sakit. Perih, nyut-nyutan!"
"Ya gimana nggak nyut-nyutan lonya nggak bisa diem ya jadi keteken sama gue."
Dinda berdecih. Lalu dia ingat kalau luka Bani bahkan belum diurus sama sekali. Dinda langsung menahan tangan Bani yang akan menutup kotak p3k. "Sok-sokan ngobatin, muka lo sendiri belum diobatin!"
Bani lantas memegangi salah satu lebam di wajahnya. "Lah iya, lupa gue," katanya. Bani lalu memajukan wajahnya sambil memejamkan mata. "Obatin, Nda."
Dinda menahan nafas saat wajah Bani begitu dekat dengan wajahnya. Posisi mereka saat ini adalah Dinda yang duduk di atas kursi bar sedangkan Bani yang berdiri di hadapannya. Karena tingginya kursi Bar wajah mereka jadi sejajar.
Sebenarnya Dinda tau sejak tadi kalau wajahnya dan Bani berdekatan. Tapi 'kan tadi Dinda memejamkan matanya dan terlalu fokus dengan rasa takutnya. Sedangkan sekarang mata Dinda terbuka sangat lebar.
Dinda menggeleng. Mengenyahkan rasa gugupnya dan meraih kapas dari dalam kotak p3k lalu menuang alkohol ke atasnya. Tapi betapa terkejutnya Dinda saat dia kembali menghadapkan tubuhnya ke arah Bani, mata cowok itu sudah kembali terbuka dan sedang menatapnya lurus.
Dan untuk beberapa detik berikutnya mereka terkunci dalam tatapan masing-masing.
"Nda?" panggil Bani tanpa mengalihkan tatapannya dari mata Dinda.
"A--apa?" tanyanya gugup. Tetapi Dinda juga tidak mengalihkan tatapannya.
Tangan Bani kemudian terulur menuju tangan Dinda yang menggantung di udara dengan kapas di tangannya lalu mengarahkan tangan itu ke salah satu lebam di wajahnya. "Buruan obatin sebelum gue berubah pikiran."
Dinda mengernyit. "Berubah pikiran?" tanyanya bingung.
"Iya. Sebelum gue berubah pikiran," Bani berhenti sejenak, "Jadi pengen nyium lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity [RE-POST]
Teen Fiction[SUDAH DITERBITKAN OLEH GRASINDO] Jujur saja, saat di balkon tadi Bani sama sekali tidak membalas pelukan Dinda. Bukan karena dirinya yang tidak mau memeluk Dinda, karena percayalah, sejak awal Bani dan Dinda duduk bersisian di balkon, satu-satunya...