Adinda Rasya W: lo dimana?
Baniansyah: gedung olahraga. Kenapa?
Adinda Rasya W: tunggu gue
Dinda masuk ke gedung olahraga yang tampak kosong dengan dua bungkus roti dan dua kotak susu di tangannya serta beberapa peralatan obat-obatan dan plester luka untuk mengobati luka di wajah Bani. Akhirnya pesan yang dikirimkannya sejak istirahat pertama tadi di balas juga oleh Bani di istirahat kedua ini.
Begitu Dinda masuk ke gedun olahraga, dia melihat kalau Bani sedang berbincang dengan seseorang yang Dinda ketahui bernama Martin. Ah, Martin si biang onar.
Dinda jadi teringat apa kata Friska waktu di toilet saat itu. Bahwa Bani akan bergabung dengan Martin setelah dia keluar dari The Fabs. Melihat Bani kini sedang berbincang dengan Martin, Dinda jadi was-was. Ngapain Bani bergaul sama Martin? Jangan-jangan karena ini juga Bani jadi berantem sama Petra?
Dinda menggeleng. Dia tidak boleh berpikiran negative terhadap Martin. Seburuk-buruknya orang, Dinda tidak boleh menuduh Martin tanpa bukti.
Percakapan antara Bani dan Martin berakhir dengan cepat. Kemudian Martin melangkah pergi meninggalkan Bani sendirian. Martin sempat berpapasan dengan Dinda yang masih berdiri diam di ambang pintu. Mungkin karena Martin si biang onar yang nggak peduli soal urusan yang terjadi di sekolah, dia hanya menatap Dinda sekilas tanpa peduli siapa Dinda dan ada apa gadis itu berdiri di pintu sendirian.
Setelah Martin benar-benar pergi, Dinda langsung menghampiri Bani yang sedang merokok di atas kursi tribune.
Cowok itu meringis saat menggerakkan bibirnya menyebabkan luka di bibirnya terasa ngilu.
Begitu melihat Dinda menghampirinya Bani berdecak. "Yaelah Nda, kenapa kesininya nggak nanti aja sih? Rokok gue masih panjang, nih," kata Bani sambil mematikan api rokoknya di lantai semen.
Dinda menatap Bani yang bersikap seolah seperti sedang tidak terjadi apa-apa.
Mungkin Bani bisa saja berpura-pura tidak sedang terjadi apa-apa meskipun wajahnya sudah dipenuhi luka lebam. Tetapi Dinda, bagaimana bisa Dinda berpura-pura tidak ada apa-apa ketika melihat wajah Bani yang penuh lecet dan lebam itu.
Dinda menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba mengatur emosinya untuk tidak meledak. Dinda pun mengulurkan bungkus roti dan susu kepada Bani sebelum Dinda duduk di sampingnya. "Kok rokok lo dimatiin?" tanya Dinda sambil melirik puntung rokok Bani yang masih sangat panjang itu teronggok begitu saja di lantai.
"Ribet ngerokok di depan lo, direcokin pasti."
Mungkin jika bukan sedang dalam keadaan seperti ini, Dinda pasti tersenyum mendengarnya. Tetapi hari ini sangat sulit untuk Dinda tersenyum.
Tapi Dinda berjanji dalam hati akan sering mengusik Bani saat cowok itu merokok agar setidaknya Bani bisa mengurangi konsumsi rokoknya. Meskipun Dinda tidak bisa membuat Bani sepenuhnya berhenti merokok, setidaknya mengurangi perlahan-lahan juga sudah lumayan.
Bani menunjuk bungkusan roti dan susu yang kini berada di atas pahanya. "Ini buat gue?" tanya Bani.
Dinda mengangguk. "Buat gue juga, gue belum makan." Dinda pun mengambil sebungkus roti dan sekotak susu dari atas paha Bani dan mulai menyantapnya.
Bani berdecih. "Emang gue bocah disuruh nyusu?"
Dinda mencibir. "Lo kira gue nggak inget, waktu di Lembang lo minum susu tiap hari?"
Skakmat. Bani tidak bisa mengelak. Dinda terlalu mengenal sisinya yang itu. Sambil merutuk Bani pun mulai melahap roti pemberian Dinda tersebut beserta susunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity [RE-POST]
Teen Fiction[SUDAH DITERBITKAN OLEH GRASINDO] Jujur saja, saat di balkon tadi Bani sama sekali tidak membalas pelukan Dinda. Bukan karena dirinya yang tidak mau memeluk Dinda, karena percayalah, sejak awal Bani dan Dinda duduk bersisian di balkon, satu-satunya...