Dinda sekali lagi menatap tidak yakin gedung bertingkat di depannya. Tangan Dinda sudah meremas erat-erat tali slingbag yang dia kenakan. Batin Dinda benar-benar sedang berperang hebat antara apakah dia harus meneruskan niatnya atau pulang saja.
Dinda menarik nafas. "Jangan jadi pengecut Din, kalau pun lo dibunuh nanti di dalem Bani bakal ketangkep sama polisi, tenang aja." Dinda menggelengkan kepalanya mencoba menghilangkan jejak pikiran absurdnya dan akhirnya memutuskan untuk melangkah memasuki pelataran lobi gedung apartemen tersebut.
Dinda kemudian bertanya kepada petugas keamanan yang bertugas di meja resepsionis bagaimana tata cara untuk berkunjung atau bertamu ke sana karena mengingat apartemen memiliki tingkat keamanan dan privasi yang cukup tinggi. Jelas sekali tidak sembarangan orang bisa masuk dan menggunakan akses lift.
Petugas bertanya unit berapakah yang ingin Dinda kunjungi dan petugas itu menjelaskan bahwa Dinda diminta untuk menunggu di salah satu kursi tunggu karena yang bisa mengakses lift hanya si pemilik keycard apartemen. Jadi terpaksa Dinda harus menghubungi Bani dan meminta cowok itu turun ke bawah. Baguslah jadi Dinda tidak perlu naik ke atas dan berduaan dengan Bani!
Dinda kemudian menepuk jidatnya saat sadar dia sama sekali tidak punya kontak Bani. Iyalah, kenapa juga Dinda harus punya kontaknya? Kenal dengan Bani saja sudah cukup menambah masalah Dinda, ini lagi harus berkontak dengannya di social media. Cih, mana sudi!
Kembali ke topik, kini Dinda sedang berpikir keras kemana dia harus menghubungi Bani. Dan ketika Dinda sedang menscroll jendela percakapannya di line, dia melihat nama Petra. Iya, Petra! Petra adalah salah satu anak buah Bani dan Dinda yakin cowok itu pasti punya kontaknya.
Dinda jadi ingat dia sama sekali belum membalas pesan Petra waktu itu. Bukannya Dinda sombong atau apa, hanya saja menurutnya dia sama sekali tidak punya keperluan apa-apa dengan Petra. Dinda jadi berasumsi jangan-jangan Petra menghubungi Dinda karena ingin meminta balik sendal yang waktu itu dipinjamkan.
Oke, kita urus itu nanti. Dinda pun buru-buru membaca pesan dari Petra yang sudah lebih dari seminggu ia diami tersebut.
Adinda Rasya W: hai Pet
Adinda Rasya W: sori bgt gue baru bales, baru onSepik abis! Bodo amat!
Dinda menunggu beberapa menit sebelum pesannya menunjukkan status dibaca dan tidak lama sebuah balasan masuk.
Petraldi Gafa H: oh iya
Petraldi Gafa H: kenapa?Dinda mengernyit. Kenapa? Bukannya waktu itu Petra yang pertama kali menghubungi Dinda, harusnya kan Dinda yang bertanya 'kenapa'.
Adinda Rasya W: eh? Kan lo yg ngechat gue duluan
Petraldi Gafa H: gajadi, lupain aja
Dinda berdecak. Bukan ini yang dia harapkan. Kalau begini akan susah baginya meminta kontak Bani. Kan Dinda jadi tidak punya alasan!
Dinda pun mengetik sambil menekan rasa malunya. Dan dalam hati Dinda berharap bahwa Petra tidak akan membocorkan soal ini ke anggota The Fabs yang lain. Karena bisa-bisa gosip aneh menyebar dan Bani membunuh Dinda karena mengira dia sudah menyebar luaskan perihal liburan 'mereka' di Lembang.
Kirim. Jangan. Kirim. Jangan. Ki--yah!!! Kekirim!
Adinda Rasya W: boleh minta kontak Bani?
Dinda menggigiti kukunya sambil menunggu jawaban Bani. Jantung Dinda ketar-ketir sendiri sambil menebak-nebak apa jawaban cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity [RE-POST]
Teen Fiction[SUDAH DITERBITKAN OLEH GRASINDO] Jujur saja, saat di balkon tadi Bani sama sekali tidak membalas pelukan Dinda. Bukan karena dirinya yang tidak mau memeluk Dinda, karena percayalah, sejak awal Bani dan Dinda duduk bersisian di balkon, satu-satunya...