Bani baru saja selesai merokok di halaman belakang sekolah bersama Farhan-yang entah sejak kapan kini menjadi rekan merokoknya-ketika dia berpapasan dengan ibu ketua yayasan di dekat green house sekolah.Sejak dulu halaman belakang sekolah yang dekat dengan green house tersebut memang jadi tempat paling nyaman untuk merokok. Dikarenakan sudut itu jauh lokasinya dari gedung utama yang terdapat ruang guru dan kepala sekolah di dalamnya, sudut itu juga agak menyeramkan karena adanya pohon rindang yang usianya sudah hampir seabad. Dan tentu saja, hal itu dijadikan tempat nongkrong paling asyik untuk anak-anak cowok yang ingin merokok atau sekedar membolos. Tetapi sejak ada spot baru di belakang gedung olahraga, halaman belakang dekat green house itu jadi jarang lagi dijadikan tempat merokok. Hanya bagi beberapa orang saja yang meman sudah nyaman di sana masih menjadikan tempat itu sebagai smoking areanya. Salah satunya adalah Bani.
Tetapi sepertinya hari ini Bani menyesali pilihannya merokok di sana. Alasannya karena sosok wanita yang kini berdiri di ambang pintu green house dengan sepasang sarung tangan karet di tangannya.
Wanita itu sepertinya juga tidak menyangka akan bertemu Bani di sana. Tetapi wanita itu langsung memasang senyum ramah ketika sudah sadar. "Bani, Mama nggak nyangka ketemu kamu di sini. Kamu habis dari mana?" tanya wanita itu lembut dan ramah.
Bani mengepalkan tangannya. Bisa-bisanya wanita ini bersikap seolah tidak ada apa-apa di antara mereka?
Berlian kemudian tersenyum maklum, dia tau Bani masih sangat membencinya. Bahkan Berlian jamin kebencian Bani terhadapnya semakin dalam. Kemudian Berlian mengalihkan tatapannya ke arah anak lelaki yang berdiri di samping anak tirinya tersebut.
Farhan yang mendapat tatapan dari ketua yayasan langsung salah tingkah. Lalu dia mengulurkan tangannya ingin mencium tangan Berlian, hanya saja Berlian menggeleng sambil tersenyum, "Nggak apa-apa, tangan ibu kotor," katanya lembut.
Farhan menarik tangannya dan memasang cengiran canggung. Farhan benar-benar merasa dia sudah terjebak di atmosfer aneh antara Bani dan ibu tirinya. Maka Farhan pun bergegas untuk menyelamatkan diri. "Bu, saya permisi dulu mau ke kelas," ucapnya sopan.
Berlian mengangguk. "Oh iya."
Dan dengan terburu-buru Farhan kabur setelah sebelumnya menepuk sekilas bahu Bani.
Bani pun sudah bersiap untuk pergi namun Berlian menahannya. "Bani," panggil wanita itu.
Bani diam. Tidak mau menatap balik wanita itu tetapi mendengarkan.
Berlian melepas sarung tangan karet yang dikenakannya, lalu tangannya terulur ke arah Bani. Ingin mengusap kepalanya.
Tapi tentu saja gerakan itu langsung ditepis oleh Bani. "Mama kira saya sudi disentuh oleh mama?" tanya Bani dingin.
Mata Berlian mulai berkaca-kaca. "Bani... Mama minta maaf kalau...kalau..."
Bani berdecih sinis. "Maaf? Semudah itu?" tanyanya sambil tersenyum sinis.
"Ma-mama hanya ingin ngajak Bani pulang ke rumah. Ayah kamu ingin kamu tinggal sama-sama lagi, nak."
"Bunda emang udah maafin mama Berlian. Bahkan bunda rela mengikhlaskan ayah untuk mama!" Bani mengepalkan tangannya. Luka dihatinya kembali terasa menyakitinya. "Tapi kenapa mama harus bikin bunda diasingkan di Lembang!" seru Bani.
Air mata Berlian menitik. "Mama nggak pernah bermaksud begitu, Bani..." Berlian mengusap pelan air mata di pipinya. "Mama waktu itu memang salah, tap-tapi mama nyesal."
Bani tertawa sinis. "Menyesal setelah bunda meninggal, iya? Penyesalan mama tidak berguna!" bentak Bani. Nafas cowok itu tersengal menandakan emosinya yang tengah bergejolak. "Bagaimana bisa gue tetep manggil wanita yang udah ngerebut kebahagiaan bunda gue dengan sebutan mama," kata Bani bermonolog.
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity [RE-POST]
Teen Fiction[SUDAH DITERBITKAN OLEH GRASINDO] Jujur saja, saat di balkon tadi Bani sama sekali tidak membalas pelukan Dinda. Bukan karena dirinya yang tidak mau memeluk Dinda, karena percayalah, sejak awal Bani dan Dinda duduk bersisian di balkon, satu-satunya...