32- Hidup Yang Lebih Baik

64.5K 5.3K 346
                                    

Bani dan Dinda baru saja sampai di lokasi pesta yang diadakan Hadian.

Pestanya digelar di salah satu ballroom sebuah hotel bintang lima ternama di Jakarta.

Dan Dinda baru tau kalau acara ini memang kerap diadakan oleh Hadian setahun sekali. Selain untuk syukuran sebagai bentuk rasa syukurnya atas pertambahan usia, sekaligus Hadian ingin memberikan satu hari treat istimewa untuk semua pekerjanya. Ada kurang lebih 1.500 pegawai yang bekerja untuk Hadian dan di hari itu semuanya diundang.

Hadian memiliki perusahaan yang bergerak di bidang textile yang pabriknya berada di daerah Cimareme, Bandung. Sedangkan kantor pusatnya berada di Jakarta. 1.500 undangan yang datang malam itu termasuk pegawai pabrik dan pegawai kantor pusat.

Dinda kira acara itu merupakan acara yang hanya diisi oleh pengusaha-pengusaha kelas atas saja. Tapi rupanya, Hadian justru mengundang para pegawainya secara spesial untuk hadir disamping para kolega bisnisnya.

Tapi mungkin karena acara itu hanya diadakan sekali setahun, semua orang malam itu mengenakan pakaian terbaik mereka. Dan malam itu semua orang yang datang terlihat seperti dalam satu golongan derajat yang sama.

Dinda dan Bani kini sedang menunggu antrian lift. Ada beberapa orang di depan mereka yang sepertinya terlihat akan menghadiri pesta, sama seperti mereka berdua.

Beberapa menit kemudian beberapa orang datang dan ikut mengantri juga. Dan dilihat dari jumlahnya sudah pasti lift akan penuh seketika.

Buru-buru Bani menarik lengan Dinda dan menggenggamnya ketika pintu lift akhirnya terbuka dan mereka berbondong-bondong naik. Benar saja, lift luas itu kini dipadati manusia-manusia bersetelan formal. Meskipun tidak sesak, tapi cukup padat.

Dinda melirik tangannya yang digandeng Bani sebelum mengalihkan pandangannya ke wajah Bani, ingin protes. "Ngapain gandengan?" bisiknya pelan tidak ingin begitu mencolok perhatian.

Bani menundukkan wajahnya ke dekat telinga Dinda. "Lo nggak baca caution signsnya? No child unattended. Anak kecil harus didampingi orang dewasa buat naik lift, takut kejepit."

Dinda pun menginjak kaki Bani dengan ujung heelsnya. Karena secara nggak langsung Bani mengatainya anak kecil. Dan Dinda yakin Bani mengatakan itu bukan karena Dinda yang imut dan punya tampang baby face tapi pasti karena ukuran tubuh Dinda yang nggak tinggi.

Bani bersyukur sepatunya cukup tebal untuk membuat rasa sakit dari injakan Dinda itu lebih sedikit. Bayangkan kalau kaki Bani sedang tidak menggunakan alas apa-apa. Bisa bolong kakinya diinjak begitu. Lagipula bukannya Dinda yang bilang jika cewek itu tidak punya highheels? Lantas apa yang sedang dikenakan cewek itu sekarang? Bakiak?

Saat Bani ingin menyeruakkan pikirannya tersebut, keinginannya harus tertunda karena lift sudah sampai di lantai tujuan. Dan kembali semua penumpang lift tersebut berbondong-bondong untuk turun, begitu pun dengan Dinda dan Bani.

Bani sempat diam cukup lama di depan pintu ballroom tertutup di depannya. Sesekali suara ramai dari dalam terdengar ketika pintu besar itu terbuka dan akan langsung berubah senyap saat tertutup. Seperti sekarang. Hanya ada suara deruh nafas Bani yang tertangkap pendengaran Dinda membuat cewek itu menautkan jemari mereka.

Kata orang kalau bingung, pegangan. Mungkin ada benarnya kata-kata tersebut. Meskipun dengan berpegangan tidak akan menjawab kebingungan. Setidaknya dengan berpegangan, seseorang yang bingung jadi lebih yakin karena ada seseorang yang memeganginya.

Dinda tau Bani sedang bingung apakah dia harus meneruskan masuk dan menghadapi apapun nanti di dalam sana atau kabur seperti yang sudah-sudah. Menghadapi dan menyelesaikan apa yang harus diselesaikan agar bisa hidup lebih baik ke depannya, atau kabur dan meneruskan hidup dengan rasa kebencian yang tidak pada tempatnya. Dinda meremas pelan tangan Bani, memberi cowok itu kekuatan untuk memilih.

Infinity [RE-POST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang