Cukup lama mereka berdua menikmati pemandangan senja dalam diam sampai akhirnya Bani bersuara. "Gue anter lo pulang jam tujuh," katanya.
Dinda menepuk jidatnya. Dia 'kan menghampiri Bani ke balkon ini tadinya ingin pamit pulang. Salahkan pemandangan senja yang membuat Dinda lupa akan niatnya itu.
"Nggak usah, gue bisa balik sendiri."
"Gue tau, tapi sekalian gue mau jalan." Bani pun melenggang meninggalkan Dinda masuk ke dalam.
Dinda mengernyit sambil memandang punggung Bani yang kini menghilang masuk ke dalam salah satu kamar yang Dinda ketahui merupakan kamar cowok itu.
Dinda pun akhirnya mengikuti masuk ke dalam, tentunya tidak sampai ke dalam kamar. Dinda memilih untuk membereskan ponsel dan kabel chargernya yang tergeletak di atas karpet ke dalam slingbagnya. Dinda pun menyempatkan diri mengecek ponselnya yang dipasang dalam mode silent tersebut. Hanya ada beberapa notifikasi pesan dari Reta dan Audy. Tidak ada dari Heriska atau kedua kakaknya sama sekali.
Dinda pun memilih untuk menunggu Bani sambil bertukar pesan nonsense dengan kedua temannya itu sambil bersandar di kaki sofa dengan kaki yang terjulur ke depan. Sesekali Dinda berpindah dari aplikasi Line ke Instagram dan beberapa aplikasi lain di ponselnya sampai akhirnya dia merasakan kehadiran Bani di sampingnya.
Dinda mendongak ke atas demi melihat wajah Bani dan Dinda bersumpah itu merupakan sebuah kesalahan.
Bani sudah berganti baju dengan kaus polos berwarna biru gelap yang ditiban dengan jaket denim sambil menggosok-gosok rambutnya yang basah karena baru selesai mandi.
Dinda bahkan sempat menahan nafasnya beberapa detik. Good. Pasti cewek-cewek di luaran sana akan ileran begitu melihat Bani seperti ini. Apalagi Bani juga menguarkan aroma maskulin yang errr membuat siapapun-terutama para gadis-ingin mengendusnya dalam-dalam.
"Tutup kali mulut lo, iler lo netes tuh," kata Bani sambil melempar handuk yang tadi dia gunakan sembarangan ke sofa.
Kampret! Dinda merutuk. Tapi tak pelak dia mengusap juga sisi mulutnya untuk memastikan bahwa Dinda tidak benar-benar ngiler.
Bani menyisir rambutnya dengan jemari membuat rambutnya tertata acak-acakan tapi tidak kusut dan justru kelihatan keren, setelahnya cowok itu merogoh kantung celana jeansnya untuk mengambil jam tangan yang dia kantongi. Setelah memakai jam tangan hitam tersebut Bani berjalan ke arah sebuah meja yang letaknya berdekatan dengan lemari sepatu, posisinya ada di dekat pintu masuk. Bani pun menarik salah satu lacinya dan mengeluarkan kunci mobil dari dalam sana.
"Ayo," ajak Bani kepada Dinda dan Dinda pun hanya mengekori Bani tanpa banyak berkomentar.
Di dalam lift, baik Dinda dan Bani tidak berinteraksi. Mereka hanya diam sampai benda logam berbentuk persegi itu berhenti dengan mulusnya di basement tempat para penghuni apartemen memarkirkan kendaraan mereka.
Dinda sempat berdecak kagum saat melihat Bani menekan tombol di kunci mobilnya dan membuat bunyi beep dan lampu sen berkedip dari sebuah mobil BMW m4 coupe biru.
"Kita pakai mobil ini?" tanya Dinda saat dia sudah berdiri di depan mobil sport tersebut. Mungkin ini baru pertama kalinya bagi Dinda naik mobil sport. Yah, katakan lah Dinda norak, tapi meskipun keluarga Dinda tidak bisa dibilang kekurangan, keluarganya juga tidak ada yang punya mobil sport.Selain karena alasan mobil sport hanya bisa dinaiki dua orang saja, harganya juga sangat tinggi.
"Hm," sahut Bani datar.
Tanpa banyak bertanya lagi Dinda pun menaiki mobil itu dan sebisa mungkin menjaga sikapnya untuk tidak terlihat norak-norak banget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity [RE-POST]
Teen Fiction[SUDAH DITERBITKAN OLEH GRASINDO] Jujur saja, saat di balkon tadi Bani sama sekali tidak membalas pelukan Dinda. Bukan karena dirinya yang tidak mau memeluk Dinda, karena percayalah, sejak awal Bani dan Dinda duduk bersisian di balkon, satu-satunya...