Epilog

93.8K 5.6K 739
                                    

Petra melangkahkan kakinya ke arah Bani yang tampilannya jauh dari kata rapi.

Mata Petra menatap ke arah pintu kamar di mana suara tangisan Dinda samar-samar terdengar dan Bani secara bergantian.

"Lo kenapa bisa di sini, bang? Bukannya lo lagi di Singapore?" tanya Petra dengan dahi mengernyit. Lelaki yang mengenakan kemeja warna bir langit yang fit body itu berhenti melangkah ketika sudah berada cukup dekat dengan Bani.

Bani menghela nafasnya lelah. "Lo juga kok udah balik? Bukannya lo harusnya masih di kantor?"

Petra melipat tangannya di dada. "Gue tadi lagi on the way Sudirman. Taunya Kafka nelfonin gue terus pake hape bi Desi, katanya Dinda nangis sama teriak-teriak di dalem kamar. Gue kira ada apa-apa sama kandungannya, makanya gue langsung puter balik. Taunya ini semua gara-gara lo?"

Bani meringis. Lelaki itu kembali mengetuk pintu di hadapannya untuk ke sekian kali. "Nda, sayang... Buka pintunya dong, dengerin penjelasan ayah dulu..." ucap Bani dengan nada memelas. "Keluar yuk, nggak enak Nda, ini 'kan bukan di rumah kita sayang..."

"Nggak!" teriak Dinda dari dalam kamar.

Petra menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ampun deh, dari SMA ampe sekarang udah mau punya anak dua, masih aja lo berdua drama." Petra memijit pelan pelipisnya. "Si Kafka kenapa bisa nelfon gue pake hapenya bi Desi. Padahal gue nggak pernah ngajarin dia main hape!" keluh Petra. "Audy nih pasti yang ngajarin."

Bani melayangkan tatapan tajam ke arah adiknya itu. "Lo mendingan kalau nggak mau bantuin gue, pergi sana jagain Kafka sama Anin."

"Ye, nggak usah disuruh juga gue pasti jagain anak sama keponakan tersayang gue itu. Seminggu kemarin juga anak sama istri lo 'kan gue sama Audy yang jagain. Udah, ah, gue mau balik ada meeting! Sumpah kalo sampe project gue batal gara-gara masalah lo sama Dinda, gue minta ganti rugi, bodo amat!" setelah mengatakannya Petra langsung pergi dari hadapan Bani yang masih terlihat nelangsa di depan pintu kamar Dinda.

"Nda, dengerin ayah dulu... Deandra itu cuma klien, sayang! Masa bunda nggak percaya...," ucap Bani lirih. Nadanya sudah benar-benar memelas.

"Bohong! Ayah sampe rela terbang ke Singapore cuma buat makan malem sama dia! Mana ada klien doang tapi sampe segitunya!" teriak Dinda lagi dari dalam kamar.

Kalau tidak ingat Dinda sedang hamil, Bani sudah mendobrak paksa pintu tersebut. Tetapi Bani khawatir kalau dia melakukan hal itu Dinda malah jadi shock atau parahnya semakin mengamuk padanya.

Bani menarik nafas, mencoba bersabar. Ini sudah kali keduanya menghadapi Dinda yang sedang hamil beserta emosinya yang meledak-ledak.

Jika ibu hamil pada umumnya jadi lebih sensitif pada suatu hal, Dinda justru jadi posesif dan cemburuan saat hamil. Tidak tanggung-tanggung, Bi Desi asisten rumah tangganya saja pernah jadi korban kecemburuan Dinda. Bahkan Anin, anak pertama mereka yang berusia lima tahun juga sering membuat Dinda cemburu karena Bani sangat memanjakannya.

Ampun, deh! Untungnya hal itu hanya terjadi ketika Dinda hamil. Yang itu berarti berlangsung hampir sembilan bulan lamanya.

"Nda...dengerin ayah coba. Ayah terbang ke Singapore bukan cuma buat dinner sama Deandra, di sana ayah nggak cuma makan berdua sayang.

"Terus tadi bunda bilang ayah rela terbang ke Singapore demi Deandra? Enggak. Yang ada ayah rela terbang dari Spore ke Indonesia demi kamu. Ayah ambil flight pertama, naik taksi dan bayar double supaya supir taksinya mau disuruh ngebut. Demi siapa? Demi bunda..."

Seketika hening. Tidak ada suara teriakan lagi dari dalam kamar Dinda atau pun tangisan. Selanjutnya yang terjadi adalah pintu bercat putih itu terbuka secara perlahan menunjukkan tubuh mungil Dinda dalam balutan dress khusus ibu hamil.

Infinity [RE-POST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang