23- Malam itu di Balkon

59.2K 5.4K 321
                                    

Setelah obrolan cukup serius beberapa saat lalu yang dilanjut dengan makan malam, kini Bani mengajak Dinda untuk berbincang serius tapi santai di balkon sambil menikmati semilir angin malam yang bertiup dari ketinggian mereka di lantai dua puluh. Amunisi yang tadi dibeli kedua anak remaja itu sudah digelar di lantai balkon. Iya, amunisi yang dimaksud merupakan makanan-makanan ringan beraneka ragam.

"Kayaknya gue salah deh beli ginian, yang ada lo malah fokus makan bukannya dengerin gue nanti," sesal Bani begitu melihat Dinda sudah mulai membuka bungkusan keripik kentang padahal belum mulai apa-apa. Bahkan mereka baru saja mendaratkan bokong mereka di atas lantai marmer balkon.

Dinda memamerkan cengiran tapi tangannya tetap tanpa merasa berdosa meneruskan usahanya untuk membuka bungkusan keripik tersebut. "Tenang aja gue 'kan makannya pake mulut bukan kuping," kata Dinda sambil cengengesan.

Bani hanya bisa menggeleng lalu dia memasang wajah serius. Bani benar-benar siap bercerita kepada Dinda. Semuanya. Benar-benar semuanya. Dimulai di hari saat Bani pertama kali bertemu Petra dan Mama Berlian. Bani terkekeh sinis. Bahkan Bani memanggil wanita itu dengan sebutan mama.

Sejak hari dimana Petra dan Berlian resmi tinggal di rumah utama keluarga Hadian, keadaan berubah total. Ambar jadi lebih pendiam meskipun tidak pernah Bani lihat ada percekcokan antara bundanya itu dan Berlian. Semula Bani kecil tidak begitu mengerti kalau sebenarnya bundanya hanya berpura-pura baik-baik saja. Apalagi bunda yang semakin sering tiba-tiba pindah tidur ke kamar Bani saat malam hari. Semula, Bani sangka kedatangan Petra dan Berlian adalah anugrah untuknya. Karena rumah Bani yang semula sepi, kini jadi ramai karena anggota keluarga yang bertambah. Apalagi dengan sifat Berlian dan Petra yang ramai.

Tapi semakin bertambah umur, semakin Bani mengerti kalau keluarganya tidak benar. Bani semakin dingin dan kaku, bahkan dia mulai menjaga jarak dengan Petra dan Berlian karena Bani sadar, dua orang itu merupakan duri yang melukai bundanya dari hari ke hari.

Tidak, itu semua belum dimulai. Luka yang lebih dalam tercipta ketika Bani duduk di bangku kelas lima SD.

Malam itu Bani membawa hadiah yang didapatnya di sekolah beserta kertas ulangannya karena baru saja mendapat nilai seratus di ulangan matematika. Bani ingin menunjukkan kepada ayahnya kalau Bani adalah anak yang pintar yang mampu dibanggakan meskipun Bani memiliki sifat pendiam dan kaku. Iya, saat itu Bani belum membenci ayahnya. Hanya saja Bani memang terlahir dengan sifat dingin yang menurun dari Hadian, maka Bani kesulitan untuk mengekspresikan bentuk sayangnya.

Saat Bani sampai di depan ruang kerja sang ayah, Bani bisa melihat bagaimana sang ayah tengah memangku Petra yang hari itu lagi-lagi lecet karena terjatuh dari pohon mangga akibat kenakalannya. Yang didengar Bani saat itu adalah "Nggak apa-apa, anak laki-laki emang harus nakal."

Sedangkan dengannya, jangankan memangku, Hadian hanya pernah menepuk pelan kepala Bani setiap kali Bani menunjukkan prestasinya kepada Hadian. Dan saat itu, Bani mengira begitulah cara seorang ayah menunjukkan rasa sayangnya.

Namun saat melihat bagaimana ayahnya memeluk Petra, hati Bani terasa sakit. Apa ini sakit yang dirasakan bundanya setiap kali melihat Berlian dan ayahnya di tempat yang sama dengannya?

Tapi itu tidak seberapa. Hati Bani hancur sehancur-hancurnya saat dia mendengar kalimat terakhir dari mulut Hadian malam itu untuk Petra. "Sejak kehadiran kamu sama Mama, dunia ayah nggak sepi dan dingin lagi. Ayah bahagia setiap pulang ke rumah disambut kamu yang manja sama ayah dan Mama kamu yang selalu bikin ayah ketawa."

Malam itu Bani bisa mendengar celoteh-celoteh kecil dari mulut Petra yang kemudian akan disambut tawa ayahnya. Tawa yang bahkan jarang sekali terdengar saat hanya ada dirinya dan bunda.Apa semenderita itukah ayahnya saat bersama Bani dan bunda?

Dan tanpa Hadian tau. Saat dia sedang tertawa lepas sambil memeluk darah dagingnya, satu darah dagingnya yang lain baru saja ia hancurkan hatinya.

Bani menghela nafas berat begitu cerita itu selesai dia ceritakan.

Dinda bisa melihat ada kabut gelap menutupi mata Bani. Tapi bukan berarti Bani terlihat sedih atau pun ingin menangis. Bahkan kesedihan saja rasanya tidak cukup menggambarkan tatapan Bani malam itu. Yang Dinda lihat adalah...kehancuran.

Dinda merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. Dinda mengusap perlahan lelehan air mata itu dengan punggung tangannya. Bagaimana Bani bahkan tidak menangis padahal dirinya lah yang mengalami itu semua sedangkan Dinda hanya mendengarkan dan membayangkan?

Bani lalu menghembuskan nafas dan melanjutkan, "Pas gue lulus SD gue baru tau kalau ternyata ayah dan bunda nikah karena perjodohan keluarga. Gue juga taunya karena eyang dari pihak ayah dateng ke rumah dan ngamuk pas tau kalau ternyata ayah nikah lagi sama mantan pacarnya sewaktu kuliah, mama Berlian." Bani diam sejenak. "Bahkan sebenci apapun gue sama ayah dan wanita itu, gue tetep manggil mereka dengan sebutan ayah dan mama." Bani tertawa miris.

"Intinya mama Berlian diusir sama eyang ke Australia tapi Petra nggak boleh ikut dan tinggal sama gue dan bunda. Tapi sejak itu ayah dan bunda udah nggak bisa kayak dulu lagi, oleh karena itu bunda milih untuk tinggal di Lembang. Mereka nggak bisa cerai karena alasan keluarga yang sampai sekarang gue nggak ngerti terkait perjodohan mereka.

"Karena waktu itu kejadiaannya adalah pas banget gue mau masuk SMP, gue ikut bunda ke Lembang dan setahun di sana tapi akhirnya gue ditarik paksa sama ayah untuk tinggal di Jakarta bareng dia dan Petra. Lo tau betapa bencinya gue sama mereka saat itu? Gue dipisahin sama bunda. Gue pun akhirnya harus keluar dari sekolah sementara buat vakum karena kondisi gue bener-bener terpuruk di situ.Akhirnya gue masuk sekolah lagi bareng Petra di tahun berikutnya."

Dinda mencerna semua cerita Bani. Bagaimana bisa anak sekecil itu harus memikul beban seberat itu? Bahkan orang dewasa saja belum tentu sanggup. Dinda terisak. Kini dia bahkan sesegukan karena menangis.

Bani memutar tubuhnya menatap Dinda dan mengulurkan tangannya untuk mengusap air mata gadis itu yang mengalir karenanya. Bani tidak mengatakan kata-kata untuk menenangkan Dinda, yang dia lakukan justru melanjutkan ceritanya. Itu semua karena Bani yang sudah bertekad untuk menceritakan semuanya kepada Dinda malam ini.

"Setiap weekend gue ke Lembang nemuin bunda. Dan setiap ngeliat bunda gue selalu ngerasa bersalah. Gue...gue menganggap kalau ayah nggak sayang sama gue dan bunda karena sifat gue yang dingin dan kaku. Itu kenapa gue jadi bersikap manja ke bunda. Gue sadar saat ngelakuin itu, tapi...tapi setiap ngeliat bunda selalu ada dorongan dalam diri gue untuk bersikap manja sebagai mekanisme pertahanan gue untuk neken rasa bersalah gue."

Dinda menggelek masih sambil tergugu dalam tangisnya. "Lo—lo nggak—nggak salah!" Dinda sesegukan. "Ke—kenap—kenapa lo har—harus minta maaf?" tanya Dinda tergagap karena tertahan tangisnya.

Bani kembali mengusap air mata di pipi Dinda meskipun tau itu percuma karena air mata itu terus turun. Bani menggeleng pelan, wajahnya kini terlihat lebih lembut daripada biasanya.

Mungkin karena keadaan Dinda yang menangis dan beban yang menimpanya sedikit berkurang karena sudah menceritakannya kepada Dinda.

"Gue nggak tau kenapa, tapi rasa bersalah itu selalu muncul setiap gue ngeliat bunda." Bani memejamkan matanya. Rasa bersalah itu menyerangnya lagi. "Bunda..." bisiknya lirih. Kini Bani tidak sanggup lagi menahannya. Kepala Bani terjatuh ke atas bahu Dinda. Cowok itu terisak di bahu Dinda.

Air mata Bani semakin menderas ketika dia bisa menghirup wangi bundanya dari tubuh Dinda. Karena malam itu Dinda kembali menggunakan sweater bundanya. "Bunda...maafin Bani," lirihnya dalam tangis.

Dinda masih terisak. Tapi tangannya mencoba merengkuh Bani. Memeluknya. Dan malam itu di balkon, mereka pun membagi tangis bersama.

Infinity [RE-POST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang