Kepanikan langsung melanda ke lima remaja tersebut. Audy langsung memeluk Reta dan menangis bersama. Mereka tau apapun yang terjadi saat ini pasti lah hal yang buruk.
Petra langsung berdiri dari tempat duduknya. "Apa perlu kita lapor ke manager cafenya?" tanyanya.
"Cari dulu di kerumunan dan sekitar cafe, kalau nggak ada baru kita lapor." Farhan berusaha bersikap tenang meskipun sebenarnya dia juga panik. Namun harus ada yang berpikir jernih di antara mereka agar semua tidak semakin runyam.
Bani tiba-tiba teringat ponsel Dinda. "Find my iphone, lacak Dinda pake itu!" Bani buru-buru mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi tersebut. Untungnya Bani sempat menyambungkan ponselnya dan Dinda dalam mode family sharing jadi Bani lebih mudah melacak keberadaan ponsel Dinda.
"Bangsat!" teriak Bani saat melihat pergerakan ponsel Dinda di GPS. "Jaraknya udah lebih dari satu kilo meter dari sini!"
"Anjing! Kalau gitu Dinda diculik?" tanya Farhan yang mulai mengerti keadaan.
Karena memang itu adalah satu-satunya hal yang memungkinkan.
Tidak mungkin Dinda menghilang karena pergi sendirian. Apalagi jika dilihat dari pergerakan di GPS, Dinda tidak mungkin pergi berjalan kaki dan sudah pasti naik kendaraan. Dan hal yang paling memungkinkan adalah Dinda diculik.
Bani bergegas berdiri dan berlari ke luar area cafe yang membuat empat temannya langsung mengejarnya.
Suasana di luar ternyata cukup sepi, sangat kontras dengan keadaan di dalam cafe yang penuh sesak. Hal ini pasti sangat menguntungkan sang penculik untuk melancarkan aksinya.
"Apa maksudnya anjing! Apa maksudnya dia nyulik Dinda!" teriak Bani frustasi. Tangannya terkepal dan rahangnya mengeras. Siap menghajar siapa saja yang mengusiknya saat ini. Dan mungkin saja siap membunuh siapa saja yang telah menculik Dindanya.
Petra langsung merebut kunci di tangan Bani membuat cowok itu hampir saja menonjoknya kalau saja Farhan tidak menahan tangan Bani mengenai Petra.
"Ban, istighfar! Lo nggak bisa mikir pake emosi!" bentak Farhan.
Bani menepis tangan Farhan yang mencoba memeganginya. "LO NGGAK NGERTI BANGSAT!"
"GUE NGERTI, ANJING! DINDA SAHABAT GUE! GUE JUGA MARAH, EMOSI! TAPI KITA NGGAK BISA NEMUIN DINDA KALAU GINI!" teriak Farhan frustasi.
"Tra, lo yang bawa mobil! Harus ada yang waras di sini! Lo, Ban, tenangin diri lo! Kita cari jalan keluarnya!"
Perlahan otot-otot Bani yang semula menegang perlahan mengendur. Nafasnya yang tersengal pun perlahan teratur.
"Kita lapor polisi?" tanya Reta begitu mereka sudah masuk ke dalam mobil. Suaranya masih bergetar karena rasa bersalah dan panik.
"Nggak bisa, karena kita belum ada bukti dan Dinda belum hilang selama 24 jam," tandas Petra. Sepertinya hanya Petra yang bisa berpikir lumayan tenang tanpa tarik urat. Mungkin karena dia belum sedekat itu dengan Dinda, berbeda dengan empat orang lainnya. Terutama Bani. Cowok itu bahkan tampak kacau.
"Terus kita harus gimana?" isak Audy sambil memeluk erat Reta. "Dinda gimana?"
"Ssh, udah Dy, jangan nangis nanti malah makin panik," ucap Petra lembut. Meskipun fokusnya tetap berada di jalanan di depannya.
"Anjing, ini ke arah hutan pinus! Bangsat! Mereka mau ngapain Dinda ke hutan pinus?" teriak Bani frustasi sambil melihat pergerakan di layar ponselnya.
"Gue takutnya ini penculikan yang sering kejadian di sekitaran night club, kasus pemerkosaan. Mereka ngebius habis korbannya, diperkosa terus ditinggalin lagi di club dan si korban nggak sadar kalau dia abis diperkosa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity [RE-POST]
Teen Fiction[SUDAH DITERBITKAN OLEH GRASINDO] Jujur saja, saat di balkon tadi Bani sama sekali tidak membalas pelukan Dinda. Bukan karena dirinya yang tidak mau memeluk Dinda, karena percayalah, sejak awal Bani dan Dinda duduk bersisian di balkon, satu-satunya...