Author's POV
“Adududuh, susah banget sih! Eh, jangan jatoh, MAMAA—AHH!” Prangg!!
“Yaahhh!” Sea melihat naas pada piring dan gelas kaca yang sudah terpecah belah tidak berdaya diatas lantai. Niat hati ingin efektif dengan membawa piring makan dan gelasnya sekaligus dengan satu tangan, ujungnya malah berakhir seperti ini.
“Ah, gegara lu nih tangan!” Maki Sea pada tangan kanannya yang di gips, “Ngapain pake retak sih?!”
(Alat untuk membatasi pergerakan bahu atau siku ketika dalam masa penyembuhan.)“Eh astagfirullah, syukur cuman retak, kalo patah? Allahu akbar, maafkan hamba Ya Allah.”
Sea kembali menatap pecahan kaca yang berserakan tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang ini, untung tadi secepat kilat ia melompat menjauh.
Ting Tong Ting Tong Ting Tong Ting…
“Buset, sabar woy!” Sea tanpa sadar berteriak kesal, matanya mengarah pada jam dinding dan mengerutkan alis saat melihat hari masih terbilang pagi, hampir siang, tapi belum, mungkin sebentar lagi.
Sea memutuskan menomor duakan pecahan diatas lantainya dan bergegas menuju pintu untuk membukanya. Siapa tahu saja seorang pengantar makanan yang kesasar, kan lumayan.
“Maaf, itu pencet belnya bisa pake perasaan dikit gak? Kasian dia dipencet membabi—Devin?” Mulut Sea menganga saat mendapati Devin berdiri di depan pintunya yang baru saja ia buka, “Em, ma—maksud gue, Devin?” Ulangnya lagi seperti orang bodoh, masih seperti.
Devin hanya menatap datar pada Sea yang menganga di depannya, menunggu gadis itu untuk mempersilahkannya masuk tapi sepertinya ia terlalu syok untuk melakukannya.
“Gue mau masuk.” Putus Devin akhirnya membuka suara.
“Eh? I—iya, iya silakan masuk, mau cari apa? Eh kenapa jadi kayak penjaga toko sih, maksud gue, masuk aja anggep rumah sendiri siapa tau kedepannya kita beneran bisa serumah, Ya Allah keceplosan. Masuk, Dev, masuk.”
Sea menggeser tubuhnya kesamping untuk memberi Devin akses jalan masuk.
“Mau minum atau makan Dev?” Tanya Sea begitu Devin duduk di sofa ruang tengahnya.
Devin menggeleng, tanda ia tidak memilih keduanya.
Gak papa gak milih dua-duanya, asal entar gue kepilih buat jadi pendamping idup lu, ehee. Sea menggila dalam pikirannya.
“Tangan lo?”
“Hah?” Sea menatap Devin yang matanya mengarah lurus pada tangan kanannya yang di gips, “Oh ini, kata dokter gak terlalu parah kok, gak usah khawatir gitu, hehe.”
“Tapi?”
“Tapi?” Sea berpikir keras, “Oh, tapi harus di gips soalnya biar tulang yang retak gak gerak-gerak, serasa tulang gue mau disko aja haha!” Sea tertawa namun kemudian menghentikan tawanya saat Devin tidak ikut serta tertawa dengannya dan hanya memberikan ekspresi datarnya.
Susah emang kalo ngelawak sama es, serasa lagi ngelawak depan orang mati, gak ada feedbacknya.
“Oh iya, lo gak sekolah?” Tanya Sea begitu menyadari saat ini masih jam sekolah.
“Berapa lama?”
“Hah maksudnya? Gak sekolahnya?”
“Berapa lama sampe gips lo bisa dibuka?”
“Ohh.” Sea membulatkan bibirnya. Ia diam sejenak, muncul pikiran di dalam otaknya untuk tidak menjawab pertanyaan Devin karena lelaki itu sendiri juga tidak menjawab pertanyaannya. Tapi karena Sea adalah orang yang baik hati dan tidak sombong, ia mengurungkan niatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Most Wanted Boy [Komplet]
Teen FictionIni adalah kisah dari anggota paling ter- dari kelompok The Most di sekolah elit Skyle's School. Devin si Most Wanted Boy yang dinginnya mengalahkan mandi air dingin di pagi buta yang berhujan disatukan dengan Sea si pembuat heboh sekolah yang seper...