Chapter 12 - Upside Down

1K 116 17
                                    

Ketukkan suara pintu terus menggema di telingaku membuatku semakin merasa terganggu. Kenapa bapak tua itu tidak pernah selesai membenahi kandang ayamnya itu? Paku demi paku ia tanam pada kerangka kandang yang terbuat dari kayu. Cat warna warni sudah ia siapkan untuk mewarnai hasil kerjanya padahal pekerjaannya belum selesai sama sekali.

Tuk..tuk..tukk

"Ah! Berisik!" pekikku karena sudah sangat geram dengan suara bising itu.

"Maaf non, ini sudah jam setengah delapan, non harus berangkat sekolah."

Suara Bibi Oh merambat ke telingaku, ia membangunkanku seperti biasa. Ah, ternyata yang tadi itu mimpi. Tapi apa tadi dia bilang? Sudah jam setengah delapan?

Sial! Aku terlambat lagi!

Dengan secepat kilat aku melompat dari atas ranjang dan melesat masuk ke kamar mandi. Lagi dan lagi, hari senin selalu saja terlambat. Karena waktu yang ku punya untuk bersiap hanya sedikit, aku tidak mengguyur badanku dengan air. Aku usap mukaku dengan facial foam dan air dingin serta menggosok gigiku, itu sudah cukup.

Hal yang paling penting untukku bawa hari ini, kertas berisi alamat apartemen Jongin. Apapun yang terjadi, hari ini aku harus menemui Jongin dan menyelesaikan perkaraku dengannya.

Aku buru-buru keluar kamar, berlari menuruni anak tangga lalu menghampiri dapur dan mencomot roti bakar yang sudah Bibi Oh siapkan untukku, tidak lupa dengan segelas susu cokelat kesukaanku.

Dengan tergesa-gesa aku menyelipkan kakiku ke dalam sepatu yang sudah tergeletak manis di depan bar mini dapur rumahku kemudian melesat pergi menuju halte bus.

Sial, lagi-lagi bus sudah mulai melaju, meski hanya perlahan itu artinya aku harus berlari menghentikan bus. Untung-untung kalau aku dapat supir bus yang baik hati yang mau berhenti dan menampungku sebelum berangkat.

Sebelum aku berlari mengejar bus, dengan sendirinya bus berhenti dan pintunya terbuka. Jelas saja aku berlari kencang lalu memasuki bus.

"Kamsahamnida, Ahjussi." ucapku sambil tersenyum manis pada supir bus. Senyumanku luntur saat Ahjussi yang kutau bermarga Go itu membalasnya dengan tatapan kesal. Apa salahku?

Setelah membayar tarif bus, aku menoleh ke kiri untuk mencari kursi kosong, namun mataku terhenti pada namja yang duduk di bangku depan, tepat di sebelahku berdiri.

Dia menatapku angkuh sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Astaga kenapa aku bertemu dengannya lagi. Kalau bukan karena ini bus terakhir sebelum jam delapan, aku rela turun dari bus daripada harus satu bus dengannya, sial memang.

Aku alihkan perhatianku pada bangku kosong di bagian belakang dan melangkah ke sana.

"Sudah punya uang untuk bayar bus?" ucap namja itu menghentikan langkahku.

Aku menoleh dan memandangnya geram. Apa maksudnya? Dia pikir aku gelandangan?

"Chogio. Apa maksudmu?"

"Harusnya kau datang lebih awal, bukankah kau harus membayar utangmu?"

Sesuatu bergemuruh dalam hatiku, rasanya panas seperti dibakar. Pria ini benar-benar sudah memancing amarahku, bukan apa-apa, tidak masalah di menagih utangku padanya, tapi caranya itu yang jadi masalah.
"Yak, Geoman namja! Kau pikir aku orang fakir? Hei, apa 1800 won harta berhargamu? Kalau begitu-"

Aku menghentikan ucapanku sembari merogoh dompet di dalam tas lalu menarik dua lembar uang 1000 won.

"Ambilah, sisa 200 won aku sedekahkan untukmu, geo-man nam-ja." sambungku seraya melayangkan dua ribu won di atas pangkuannya.

(Damn!) Curse?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang