Ally pov
"Ally!" teriak seseorang dari bawah. Yang kuyakini itu adalah suara cempreng milik Clarke. Aku mendengus kesal sebelum akhirnya mengganti sandal dengan sepatu converseku. Ini masih pagi, tapi dia sudah teriak - teriak seperti orang kesurupan.
"Ally!" teriaknya sekali lagi. Suaranya kencang sekali. Aku sedang berada di lantai atas, tapi dia di lantai bawah. Dan suaranya masih terdengar kencang dari sini.
"Berhenti berteriak, Clare!" teriakku setelah aku menutup pintu kamarku lalu berlari kecil untuk menuruni tangga. Daripada aku harus mendengarnya berteriak lagi.
Aku menginjak anak tangga terakhir, lalu segera menghampiri Clarke yang sedang terduduk di ruang tengah bersama kakakku. Aku langsung menarik tangannya dengan kencang karena saking kesalnya, Clarke yang belum siap hampir menyemburkan teh yang baru saja di sesapnya.
"Santai saja, Ally!" decak Clarke.
Aku terkekeh mendengarnya. "Siapa suruh tadi teriak - teriak? Ayo cepat, nanti telat!" pintaku.
Clarke memutar bola matanya kesal. Dengan wajah anak anjingnya, Clarke manatap Xander dengan tatapan minta dibela. Xander tertawa melihatnya lalu bangkit dari duduknya, tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya. Xander hanya menaikkan bahu, lalu menurunkannya lagi.
"Ally benar, nanti kalian telat." Ucap Xander enteng. Clarke mendengus kesal pada Xander karena tidak dibela.
"Baiklah." ucap Clarke pasrah. Clarke mencium bibir Xander yang langsung kujawab dengan 'eww'.
Setelah puas mencium kakakku, Clarke langsung menuntunku menuju mobilnya. Hari ini Xander meminta Clarke untuk mengantarku ke sekolah baruku. Setelah tiga hari, barulah Xander mengizinkanku untuk ke sekolah sendiri. Menyebalkan sebenarnya jika harus satu mobil bersama Clarke yang cerewet. Tapi aku menghargainya, dia seperti itu karena menyayangiku.
"Bersikap biasa saja, oke?" ucap Clarke tanpa memandangku, karena matanya masih fokus pada jalanan. Aku hanya mengangguk walaupun aku tahu jika Clarke tidak melihatnya. "Kau sudah makan?"
Aku bergumam. "Maksudku makan seperti 'makan'?"
Aku bodoh jika aku belum 'makan'. Tentu saja aku sudah makan. Jika belum, aku tidak akan berani keluar rumah saat ini. Jika aku keluar disaat aku belum makan, yang kubayangkan jika melihat manusia hanyalah darahnya.
"Jawab aku ketika aku berbicara, bodoh." Ucap Clarke.
"Sudah, Clary." Ucapku pelan.
Xander dan Clarke sudah bepacaran sangat lama, aku tidak ingat sudah berapa lama mereka pacaran. Kalau tidak salah berarti aku benar, Xander dan Clarke sudah berhubungan selama dua ratus tahun. Mungkin lebih.
Yang perlu kalian tahu, aku, Xander, dan Clarke bukanlah manusia. Kami adalah vampire. Hidupku tidaklah menyenangkan, harus berpindah tempat setiap kali ada orang yang mencurigai kami. Dan bagian yang paling buruk adalah, ketika melihat teman ataupun orang yang kalian sayangi mati satu per satu dimakan usia.
Tidak ingin merasakan sakit hati, aku harus merubah sikapku menjadi 180 derajat. Aku harus bersikap berbeda pada orang - orang disekitarku selain Clarke dan Xander. Ini demi kebaikan mereka, terutama aku. Aku tidak ingin sakit hati lagi, melihat seseorang yang aku cintai mati dan menua dihadapanku.
Xander dan Clarke sangat beruntung, mereka vampire, dan mereka berdua abadi. Mereka bisa bercinta dan menjalin cinta sampai kapanpun mereka mau, tidak dibatasi oleh usia. Xander bahkan tidak perlu mencari cinta sejatinya, karena Clarke sudah dikirimkan untuk Xander. Ahh, beruntungnya mereka berdua.
Aku tidak ingin jatuh cinta. Aku tidak ingin orang lain mempunyai perasaan untukku.
Karena aku berbeda.
Karena aku berbahaya.
Dan karena aku vampire.
***
Clarke tetap ngotot untuk mengantarku sampai ke ruang administrasi sekolah di Callister Falls High School. Aku sudah menolaknya mentah - mentah, namun tetap saja Clarke tetap ngeyel. Yasudah, dengan terpaksa aku mengiyakan paksaannya.
Jadi, disinilah aku. Berdiri di depan meja petugas administrasi yang kuketahui namanya dari papan kecil diatas mejanya. Lily, itulah namanya. Rambut coklat panjangnya digelung keatas, membuatnya sangat terlihat seperti ibu rumah tangga yang terpaksa bekerja untuk memenuhi hidupnya dan anaknya.
"Siapa namamu?" tanya Lily.
Clarke menyikutku, aku terperangah karena daritadi aku sibuk memperhatikan dekorasi ruangan yang menurutku tidak penting untuk diperhatikan. "Ally," ucapku. Wanita yang kuketahui namanya dari papan kecil itu terdiam sambil menatapku jutek. "Allycia Fonda Anderson." Sambungku.
Barulah Lily mengetikkan sesuatu pada keyboard komputernya. Tak lama, terdengarlah bunyi yang berasal dari mesin printer di belakang Lily. Lily langsung mengambil kertas yang baru saja keluar dari printer. Tanpa basa - basi Lily memberikannya padaku bersama beberapa lembar kertas, dan peta sekolah tanpa sepatah katapun. Setelah itu, Lily kembali fokus pada komputernya.
"Terimakasih." Ucap Clarke yang langsung menyeretku keluar ruang administrasi.
"Jutek sekali dia." Komentarku setelah Clarke menutup pintunya.
Clarke hanya tertawa. "Mungkin dia sedang ada masalah. Makanya seperti itu." ucap Clarke.
Clarke menuntunku untuk berjalan menyusuri gedung sekolah, membantuku untuk menemukan kelas pertamaku yang aku bahkan tidak tahu itu apa. Bisa kurasakan jika ada tatapan yang menatapku disaat aku melewati lorong bersama Clarke. Aku tahu tatapan itu. Aku sempat berpapasan dengan dua orang cowok yang melewatiku. Dan mereka tersnyum.
Apa? Tersenyum?
Aku memberhentikan langkahku. Clarke pun ikut berhenti. "Kenapa berhenti?" tanyanya.
Aku menatapnya dengan pandangan meledek. "Kau punya banyak orang yang menyukaimu disini, ya?" tanyaku.
"Ti-ti-tidak," ucapnya gagap. Aku semakin menatapnya dengan tatapan penuh selidik. "Ya!" ucap Clarke mengakui. "Tapi kakakmu masih ada dihatiku. Dia masih nomor satu!" Protes Clarke. Aku bisa melihat pipinya yang memerah. "Jangan bilang Xander. Dia terlalu posesif. Kau tahu itu, kan?" sambungnya.
"Kali ini saja." ucapku. Clarke mengangguk. Clarke kembali menuntunku, kali ini tangannya dilingkarkan ke dalam lenganku. Aku merasa seperti lansia jika seperti ini.
Belum lama aku berjalan, kami berdua sudah dihadang oleh tiga orang, yang kuyakini jika mereka adalah anggota tim football. Seragamnya mudah sekali ditebak. Dua orang berambut coklat, dan satunya lagi berambut pirang tembaga. Menghadang Clarke lalu tersenyum jahil.
"Enyahlah, Mark!" Ucap Clarke malas.
Lelaki yang bernama Mark tertawa. "Whoa! Tenanglah, Clarke." Ucapnya. Lalu lelaki yang dipanggil Mark menatapku. "Hei, siapa dia?" tanyanya.
Bukannya aku menjawab, aku malah menatap Clarke, "Aku duluan, Clare." Gumamku.
Lalu aku berjalan menjauh meninggalkan Clarke bersama Mark dan dayang - dayangnya. Sebelum aku pergi melangkah, aku tadi sempat melihat jika salah satu dari mereka tersenyum padaku.
"Tuh kan, dia pergi." Kesal salah satu temannya.
"Dia memang seperti itu." Aku bisa mendengar Clarke berkata pada Mark dan dayang -dayangnya. Awas saja kau, Clarke.
***
Gimana pendapat kalian? Maaf kalo ga jelas.
Remember to
Vote
Comment
Vomment kalian sangat berarti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Frozen Vampire (Complete)
VampireAku akan menghancurkan dinding yang sudah dia bangun, setebal apapun dia membangunnya. - David Thomas William Aku tidak ingin jatuh cinta. Aku tidak ingin orang lain mempunyai perasaan untukku. Karena aku berbeda. Karena aku...