Delapan

9.1K 559 5
                                    

Ally's pov

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Entah sekarang aku sedang berada dimana. Sepertinya aku mengenali tempat ini, aku pernah kesini. Tapi aku lupa kapan tepatnya itu. Aku bangkit dari dudukku yang entah bagaimana aku tidak tahu kenapa aku bisa duduk disini. Tubuhku menyender pada batang pohon besar.

Aku menutup mataku ketika melihat ada seberkas cahaya yang datang dari depanku. Perlahan cahaya itu meredup, digantikan oleh tubuh seseorang yang perlahan mendekat kearahku. Aku berusaha membuat pandanganku kembali pulih.

"Cole?" ucapku tidak percaya. Itu Cole.

Cole berjalan mendekat kearahku, tangannya diulurkan kearahku, membantuku untuk berdiri. "Ally." Ucapnya. Aku langsung menerima uluran tangannya dan bangkit berdiri.

"Aku kira kau tidak akan pernah menemuiku." Ucapku.

Aku baru tersadar, sekarang aku sedang berdiri dipinggir danau. Tempat dimana aku dan Cole pertama kali bertemu. Tempat dimana aku dan Cole mendapatkan ciuman pertama kami. Aku tersenyum memandang Cole yang juga tersenyum padaku. Tuhan, aku rindu senyumnya.

"Apa kau baik saja?"

Kumohon, jangan pertanyaan itu lagi. Aku sudah bosan mendengar pertanyaan itu hari ini. Aku tersenyum lalu mengangguk. "Aku baik." Dustaku.

Cole menatapku dengan pandangan penuh arti. Dia terdiam lalu tersenyum padaku. Cole menggandengku, mengajakku untuk berjalan bersamanya. Tuhan, aku rindu sekali dengan genggamannya. Jika ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku. Karena jika aku bangun, dia pasti akan menghilang.

Cole mengajakku masuk ke dalam sebuah pondok dekat danau. Aku tahu pondok ini. Aku dan Cole membangunnya bersama selama hampir tiga tahun. Pondok kecil yang masih kokoh dengan dua kasurnya.

Aku memandang kesekeliling pondok. Aku mengernyitkan dahiku bingung karena tidak menemukan satu barangpun didalamnya. Hanya sebuah pondok kosong tanpa isi. Pondok kosong ketika pertama kali aku dan Cole mnyelesaikan bangunannya.

"Kemana semua barang – barangnya, Cole?" tanyaku. Aku berjalan menuju tempat dimana dulunya kasurku diletakkan.

"Aku tidak benar – benar disini, Fonda sayang." Panggilan itu.

Aku menggeleng, "Aku tidak pantas dipanggil Fonda, Cole." Karena memang benar. Aku sama sekali tidak pantas dipanggil Fonda yang artinya adalah baik hati. "Aku sudah membunuhmu." Ucapku lalu mundur beberapa langkah ke belakang.

Cole melangkahkan kakinya menghampiriku. Memegang tanganku lalu mendekapku dipelukan hangatnya. Tuhan, bolehkah aku meminta satu permintaan lagi? Aku mohon jangan biarkan dia melepaskan pelukannya padaku.

"Itu bukan salahmu. Aku yang salah," ucap Cole. Cole menempelkan dagunya diatas kepalaku. Tangannya semakin erat memelukku. "Jika saja aku mendengarkanmu, aku pasti masih bisa memelukmu lebih lama lagi." Ucapnya. Cole menggunakan tangan kanannya untuk mengusap kepalaku. Kebiasaan yang dilakukannya ketika aku sedih.

"Tapi tetap saja, aku yang menyebabkanmu tewas." Lirihku. Bisa kurasakan air mata yang kini membasahi baju Cole.

"Sudah kubilang jika itu bukan salahmu, Fonda sayang." Ucap Cole.

Cole mendorong tubuhku pelan. Lalu mengangkat daguku supaya aku bisa melihatnya. "Dengar, ini bukan salahmu. Ini sudah takdirku. Dan di depan sana, sudah ada orang yang menunggumu."

"Jangan buat dirimu digelayuti oleh rasa bersalah. Itu akan membuatmu lemah," Aku menunduk menghindari tatapan matanya. Seakan merasa diabaikan, Cole kembali mengangkat daguku. Membuatku menatap kembali matanya.

"Kupikir kau pantas mendapatkan seorang yang lebih baik dariku." Ucapnya.

"Itu bukan salahmu, oke." Ucapnya. Cole kembali memelukku. Kali ini lebih erat dari sebelumnya. Cole memelukku hingga beberapa menit sebelum akhirnya melepaskanku. Berjalan mundur perlahan kebelakang dimana cahaya terang itu kembali datang.

"Buka pintu hatimu, Fonda sayang." Ucapnya. "Semoga kita bertemu lagi." Tubuh Cole pun kembali meredup bersamaan dengan cahayanya yang meredup.

"Aku mencintaimu." Ucapnya bersamaan dengan cahaya yang kini sudah menghilang bersama dirinya.

Sial! Itu hanya mimpi. Aku bangun dari tidurku, menyenderkan tubuhku pada dashboard lalu memijat keningku. Mimpi itu benar – benar nyata. Genggamannya, pelukannya benar – benar nyata, aku bahkan masih bisa merasakannya.

Aku menyibakkan selimut yang menutupi pahaku. Menurunkan kakiku satu persatu ke lantai lalu bangkit menuju kamar mandi. Aku mendorong pintu kamar mandi dan langsung kutanggalkan seluruh pakaianku. Kunyalakan shower yang langsung mengguyur tubuhku dengan air dinginnya.

Aku menyenderkan kepalaku pada dinding di depanku. Masih memikirkan tentang mimpi yang tadi. Apa aku harus mengikuti apa yang dikatakan Cole? Membuka hatiku untuk orang lain? Melupakan kesalahan yang membuatnya terbunuh? Tentu saja tidak adalah jawaban untuk semuanya.





 Apa aku harus mengikuti apa yang dikatakan Cole? Membuka hatiku untuk orang lain? Melupakan kesalahan yang membuatnya terbunuh? Tentu saja tidak adalah jawaban untuk semuanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nina Dobrev as Allycia Fonda Anderson


***

Remember to

Vote 

and 

Comment

Frozen Vampire (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang