Tiga Belas

7.3K 453 7
                                    

Ally's pov

Clarke sialan! Kau benar – benar tidak bisa memenuhi janjimu. Dan terimakasih, berkatmu sekarang Xander pasti tidak akan melepaskanku dari pantauannya ataupun kau. Tapi disatu sisi aku merasa takut bertemu Theo. Takut jika dia akan menghancurkan atau memusnahkan orang yang mencintaiku. Seperti yang dilakukannya pada Cole.

Aku hanya terdiam dan memandangi apapun kecuali Clarke. Saat ini aku sedang menuju sekolah, dan tentunya bersama pacar kakakku yang sangat cantik, anggun, dan mempesona itu. Dari pagi, Clarke berusaha mengajakku berbicara. Karena aku sedang ngambek dengannya, yasudah aku diamkan saja dia. Biar tahu rasa.

"Ayolah, Al. Mau sampai kapan kau mendiamkanku?" tanyanya. Pertanyaan yang sama sejak tiga hari yang lalu. Ya, sudah tiga hari ini aku mendiamkannya.

Karena bosan, dan tidak ingin mendengar pertanyaannya lagi, jadi kujawab saja. "Sampai aku berbicara lagi padamu." Ucapku. Aku berpura – pura mengunci bibirku, membuka jendela mobil, dan melempar kuncinya keluar.

Clarke mendengus pasrah kearahku. Ahh, biarkan saja dia.

***

Baru jam pertama pelajaran, sudah berhasil membuatku menguap. Pelajaran sejarah memang sangat menyebalkan. Karena aku tahu persis bagaimana sejarah selama aku hidup disini, ya walaupun tidak semuanya. Ditambah yang mengajar adalah Bu Ramona, seorang guru yang sebentar lagi akan pensiun.

Bu Ramona adalah seorang guru geografi yang sekarang sedang merambah menjadi guru sejarah. Setelah Pelatih Westin mengundurkan diri menjadi guru pengganti sementara karena tidak betah mengajar di kelas katanya. Kepala sekolah meminta Bu Ramona untuk mengganti posisi guru sejarah sementara. Semakin ngawur bukan? Guru geografi menjadi guru sejarah -_-

Aku menoleh ke sampingku, dimana Rick duduk. Kulihat dia sedang menuliskan sesuatu pada selembar kertas. Aku tidak tahu apa yang dituliskannya, karena Rick menulisnya dengan ditutupi lengannya, seperti sedang mengerjakan ujian saja.

Tidak kusangka, ternyata Rick meremas kertasnya menjadi gulungan yang muat ditangannya. Melemparnya kearah gadis yang duduknya dua meja didepannya. Gadis berambut coklat dengan wajah Latin menoleh karena merasakan ada yang melemparnya.

Gadis itu menunduk mengambil kertas yang terjatuh dibawah kakinya. Dari sini, aku bisa melihat pipinya yang memerah. Menoleh kearah Rick, dan kulihat Rick melambaikan tangannya. Membuat wajah gadis itu semakin memerah seperti kepiting rebus.

Aku menggeleng pelan melihat tingkah laku Rick, yang terlalu genit untuk ukuran cowok seperti dirinya. Bu Ramona masih saja sibuk mengoceh, menerangkan pelajaran yang aku tahu semua murid tidak mendengarkannya. Bahkan John, yang duduk di belakangku sudah mendengkur.

Bu Ramona berhenti menjelaskan ketika seseorang mengetuk pintunya. Aku terkejut dengan sangat, sangat, dan sangat terkejut ketika tahu siapa yang mengetuknya. Berbeda dengan murid perempuan yang menatap Theo seperti ingin melahapnya.

Dia menyengir seperti joker padaku.

Pandangannya beralih padaku, "Maaf aku menganggu pelajaranmu, Bu Ramona." Bu Ramona mengangguk. "Namaku Theodore Blake, aku murid baru disini. Ini jadwalku." Ucapnya sambil memberikan selembar kertas pada Bu Ramona. Aku mendecih mendengar cara bicaranya yang dibuat sopan.

Bu Ramona menerima kertas itu. "Perkenalkanlah namamu," ucapnya.

Theo melambaikan tangannya pada seisi kelas, aku hanya memutar mataku lalu menggeleng melihat tingkahnya. Berbeda dengan reaksiku, murid perempuan malah terkagum – kagum. "Namaku Theodore Blake. Aku pindahan dari SMA Trinity di New York." Ucapnya mengakhiri perkataan.

Bu Ramona mengangguk. "Duduklah dimanapun asal bangku itu kosong," ucapnya. Aku menoleh ke belakang John, dimana satu – satunya bangku yang kosong. John yang tadi mendengkur sudah kembali ke dunia nyata.

"Maaf, Bu, tapi disini saya hanya mengenal Ally, bisakah saya duduk disampingnya?" tanyanya yang membuatku membelalakkan mata. Rick pun menatapku. Oh, tidak hanya Rick, melainkan seluruh murid perempuan.

Tanpa diduga, Bu Ramona mengangguk setuju. "Smith, kau pindahlah." Usir Bu Ramona seenaknya, membuat Theo semakin melebarkan senyum miringnya. Rick mendengus kesal, pindah ke belakang John dengan membawa ranselnya.

Bu Ramona kembali menjelaskan pelajarannya. Theo berjalan kearahku, tepatnya ke bangku disampingku. Sebelum duduk, Theo tersenyum padaku sambil mengusap kepalaku. Membuat murid perempuan yang melihatnya menutup mulut, ada juga yang berbisik – bisik.

Sialan! Bisa – bisanya dia.

Kepala Theo menyamping kearahku. Aku yakin sekali jika aku menendang bangkunya dengan kuat, dia pasti akan mencium lantai. "Ini langkah pertamaku, Sayang." Bisiknya yang mampu membuatku terpaku.

***

Theo selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. Sialan. Mau apa dia? Rasa malasku sekarang berubah menjadi rasa was – was. Aku terus menoleh ke belakang ketika berlari, jaga – jaga siapa tahu jika Theo sudah ada di belakangku.

Aku kembali menoleh ke depan, takut jika aku menabrak loker atau dinding, aku tidak ingin malu hanya untuk menghindari Theo. Aku terus berlari hingga aku sampai di depan pintu kantin yang terbuka lebar.

Sial! Jika saja sekolah ini sepi, aku pasti akan melesat untuk menghindari Theo tanpa repot – repot berlari. Aku menghela nafas lega ketika kulihat Clarke dan dayang – dayangnya duduk ditempat biasa mereka.

Clarke terkejut atas kedatanganku dan menyemburkan minumannya kehadapan Mark. Aku tanpa dosa, langsung merebut minuman yang dipegangnya, meminumnya hingga tetes terakhir.

"Terimakasih," kusodorkan botol kosong pada Clarke.

"Kenapa kau menyemburku?!" ucap Mark kesal setelah mengelap wajahnya. Wajahnya memerah. Bisa kulihat air yang berwarna merah itu tersisa dipelipisnya.

"Salahkan Ally yang datang tiba – tiba!" protes Clarke.

"Kenapa kau..."

Ucapan Dave terpotong setelah kedatangan Theo dikantin, yang langsung menduduki tempat kosong disebelahku, Clarke bahkan sampai bergeser hingga berhadapan dengan Dave. "Siapa dia?" sambung Dave. Dave bahkan lupa jika dia pernah melihat Theo.

"Kenapa kau lari?" tanya Theo. "Apa kau tidak merindukanku?" Aku tersenyum kecil melihat tingkah Clarke dan dayang – dayangnya yang pura – pura muntah.

Aku perlu kantong sekarang! Perutku merasa mual mendengar pertanyaannya. Bagaimana aku merindukannya, jika saja aku membencinya. Sangat membencinya. Aku bahkan menghindarinya, karena aku tidak ingin bertemu dengannya.

"Mantan Ally yang gagal move on." Aku menahan tawa ketika mendengar bisikan Clarke pada Dave. Berbeda dengan Theo yang sepertinya terlihat kesal, mukanya bahkan memerah.

Memang benar. Bisa dibilang dia seperti itu. Mantan yang gagal move on, itu panggilan yang cocok untuknya. Aku memang membencinya, tapi bukan berarti aku tidak bisa tertawa mendengarnya diejek.

Dan dia brengsek!

Dan sepertinya dia memiliki banyak kepribadian. Kadang sifatnya baik, dan kadang sifatnya seperti mengajak ribut, kadang sifatnya juga tempramen dan gampang marah. Membuatku bingung.

"Jujulah, Ally. Kau pasti merindukanku." Ucapnya lagi. Aku menghindar dari tatapannya yang sangat dekat diwajahku. Dan sekarang dia berkata lembut seperti ini.

Aku mendorong wajahnya menjauh. "Jujur aku merindukanmu," Theo tersenyum.

"Dan jujur, aku berbohong."





****









Remember to

Vote

and

Comment

Frozen Vampire (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang