Empat Puluh

4.1K 243 0
                                    


"Jadi kalian adalah vampire?" tanya Joanne dengan mulut terperangahnya yang lebar. Empat vampire itu mengangguk sebagai jawaban setelah memberitahu siapa mereka sebenarnya.

Hening...

Mark berdiri dengan tiba – tiba. "Hebat! Kalian keren!" pekik Mark dengan antusisme yang tinggi. Joanne tersentak ke belakang mendengar suara Mark yang mengagetkannya.

Empat vampire itu mendongak menatap Mark tidak percaya. Mereka tidak menyangka jika Mark akan berkata seperti itu. Dia bahkan tidak menyangka jika Mark tidak takut dengan mereka. Mark bilang mereka keren?

"Apa kalian tidak takut?" Ally akhirnya bersuara setelah tadi terdiam. "Kau tahu kan jika vampire hidup dari darah manusia?" tanyanya. Mark bergidik ngeri tapi akhirnya ia menggeleng. Walaupun mereka berempat menggantungkan hidupnya dari kantung darah yang Xander ambil di rumah sakit, tetap saja mereka bisa hidup karena darah.

"Apa kalian seperti Edward?" tanya Joanne. Jujur saja, selama ini Joanne membayangkan vampire sama seperti film yang pernah ia tonton.

Mereka berempat tertawa, tapi Theo-lah yang paling kencang. "Kami tidak berkilauan." Tawa Theo semakin membesar begitu membayangi tubuhnya yang bersinar begitu terkena matahari.

"Lalu kenapa kalian bisa keluar di siang hari?" tanya Rick.

Clarke menunjukkan cincin yang ada dijari manisnya pada mereka bertiga. Joanne yang pernah melihat cincin itu, sama seperti milik Ally mengangguk paham. Jadi Ally berbohong waktu itu, jika ia sampai kehilangan cincinnya, dia akan terbakar matahari di siang hari bukan terbakar di api neraka.

"Jadi, keputusan ada ditangan kalian," Xander terdiam sejenak. "Kalian ingin melupakan kejadian ini, atau mengingatnya?" tanya Xander.

"Jika kalian ingin mengingatnya, kalian harus berjanji untuk menjaga rahasia kami,"Theo terdiam, ia memegangi dagunya. "Atau keselamatan kalian terancam." Ancamnya.

Mereka bertiga-Joanne, Rick, dan Mark-saling pandang. Menimbang keputusan terbaik yang akan mereka ambil. Setelah beberapa menit saling berpikir, mereka bertiga akhirnya mengangguk.

"Kami ingin mengingatnya." Jawab Mark, mewakili teman – temannya.

"Apa kalian yakin?" tanya Clarke. Mereka bertiga menjawabnya dengan anggukan.

"Bagaimana dengan Dave?" tanya Rick. Mereka semua terdiam, hampir lupa jika Dave masih belum sadar. Ia sedang berada di kamar Xander.

"Tidak. Dia tidak boleh tahu," sahut Ally. "Setidaknya untuk saat ini." tambahnya.

Mereka semua kompak melihat ke arah pintu yang baru saja terbuka. Dave muncul sambil memegangi lehernya yang terasa sakit digerakkan. Dengan gontai, Dave melangkah menghampiri teman – temannya.

Ally yang merasa bersalah karena sudah memukul leher Dave dengan kencang langsung menghampirinya. Menggandeng tangan Dave, tepatnya membantu dia berjalan. Ally berhenti di double sofa, dan menyuruh Dave untuk duduk.

"Apa yang sebenarnya sedang terjadi?" tanya Dave. Ia memandang teman – temannya yang menampilkan ekspresi sama, diam.

Dave langsung menoleh, menatap Ally. "Kau percaya padaku kan, Dave?" Dave mengangguk.

"Bagus," Ally membendung wajah Dave dengan telapak tangannya yang kecil di wajah Dave. Memastikan jika mata itu menatapnya. "Dengar,"

Ally menghela nafasnya. "Lupakan kejadian yang kau lihat malam ini dan perempuan itu." Ally terdiam. Teman – temannya hanya memandang Ally dengan berbagai macam perasaan.

"Yang kau ingat hanya- lah pesta ulang tahunmu yang berjalan sangat lancar. Kau merasa sangat senang karena teman – temanmu datang, kekasihmu menciummu dengan penuh cinta untukmu." Ally kembali menghela nafasnya.

"Tidak ada kejadian apapun yang menganggu pestamu, semuanya berjalan sempurna."

"Karena kau sudah genap delapan belas tahun, kau legal minum alcohol. Kau meminumnya hingga melebihi kapasitas, membuatmu jadi sangat mabuk lalu pingsan menghantam lantai. Itu-lah penyebab lehermu sakit." Ally meneguk ludahnya.

"Aku mencintaimu, Dave." Ucapnya. Ally mendekatkan kepala Dave kepadanya. Menciumnya dengan lembut. Mencium bibir yang sudah lama dia rindukan, karena masalah yang mendatanginya setiap saat, membuat Ally menjauhinya, tidak ingin jika orang yang ia cintai kembali terluka karena dirinya.

Setelah perasaan rindu itu tersalurkan kepada orangnya, Ally melepaskan ciumannya. Kembali membendung wajah Dave, menatapnya lekat – lekat. "Lupakan yang tadi kukatakan." Ally menghela nafasnya.

Dave mengerjapkan matanya beberapa kali lalu memandang teman – temannya dengan sumringah. "Pesta yang hebat, kawan!" ucap Dave. Semua teman – temannya hanya tertawa, karena jujur saja mereka tidak tahu harus menunjukkan ekpresi seperti apa.

Ally tersenyum miris. Dia harus rela membohongi orang yang dia cintai demi keinginannya. Dia tahu jika tindakannya salah, tapi seperti yang ia bilang, demi keamanannya. Dia tidak ingin sesuatu terjadi pada Dave.

Maaf jika harus berbohong, karena terkadang bohong adalah solusi terbaik. Aku tahu jika aku salah karena telah membohongimu. Dan maaf jika pada akhirnya, akulah yang menyakitimu. Batin Ally.




***





Remember to

Vote

and

Comment

Frozen Vampire (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang