Delapan Belas

6.1K 373 0
                                    

Ally's pov

Ucapan Ibu Dave membuatku tertawa, dengan terangnya Deviana-ibu Dave- berkata jika Dave mengompol. Dave sebenarnya tidak mengompol, aku lah yang membuat kasurnya basah semalam. Tanpa kusadari aku tertidur di kamar Dave. Baru bangun subuh tadi, aku mencium dahi Dave sebentar sebelum pergi melalui jendela kamar Dave.

Aku sengaja menjemput Dave sekarang, sejak ancaman Theo, aku mulai waspada. Aku tidak ingin itu semua terjadi begitu saja. Membiarkan oang yang kusayang mati ditangan orang yang sama.

Saat ini, aku sedang di dalam mobilku. Dave yang mengemudikannya, sesekali dia menoleh padaku. "Kurasa kau menyukaiku." Ucapnya dengan kesan narsistik. Membuatku menggeleng menyangkal semuanya.

"Oke." Jawabku singkat.

Aku mendengar Dave terkekeh, wajahnya masih fokus ke depan menyetir. Aku hanya melihatnya dengan pandangan tidak percaya, dia narsis juga rupanya. Wajahnya yang polos membuatku tidak percaya.

"Jujur saja, kau menyukaiku, Ally." Ulangnya.

Aku mendelik dan semakin mengeleng. Tertawa sambil mengerutkan dahiku dan menatap keluar jendela. Dia benar – benar diluar dugaan. Masih melihat ke luar jendela, aku mendengar Dave yang masih tertawa juga.

"Kau tahu, Dave?" Aku menatapnya sebentar lalu menatap kembali ke jendela. "Kau istimewa." Ucapku.

Dia memang istimewa. Mungkin Dave adalah orang yang dimaksud oleh Cole dengan orang yang menungguku di depan sana. Tapi yang harus aku khawatirkan saat ini adalah Theo. Aku harus meminta bantuan Clarke untuk saat ini.

***

"Kau mau kemana?" tanya Xander.

"Snorkeling." Jawabku sekenanya.

Memangnya mau kemana lagi? Aku memakai tank top dengan handuk kecil dileherku, celana training dan sepatu lariku. Tidak mungkin kan jika aku akan snorkeling, bocah TK pun pasti tahu jika aku ingin jogging.

Mengacuhkan ucapan Xander, aku menutup pintu dan mulai berlari menjelajahi Callister Falls di malam hari. Sambil terus berlari, aku sesekali menoleh ke kiri dan ke kanan. Memperhatikan orang – orang yang terlihat sedang bermesraan dengan kekasih mereka masing – masing.

Aku tadi menunggu Dave yang sedang berlatih football, takut jika Theo melakukan sesuatu pada Dave. Tingkah Theo membuatku bingung dan curiga hari ini, selama di sekolah Theo mengabaikanku. Dia hanya melirikku sekilas lalu menoleh tidak peduli.

Saat sedang berlari dan melewati lorong gelap dan sempit, aku sempat mendengar suara rintihan seorang perempuan. Karena sifatku yang gampang penasaran, aku mengikuti dimana suara itu berasal.

Disana, diujung lorong ada seorang perempuan yang sedang dipeluk dari belakang oleh seorang pria. Apa dia ingin diperkosa? Sebagai sesama perempuan, batinku menyuruh untuk menghampiri wanita itu. Menyelamatkan harga diri perempuan itu.

Aku terhenti begitu mengetahui siapa pria yang mendekapnya dari belakang. Sial! Ternyata dia tidak sedang diperkosa. Dia sedang dihisap darahnya. Bisa kulihat dari sini jika lehernya berdarah.

Dan semakin kudekati, ternyata Theo lah yang menghisap darahnya. Wanita itu hanya terdiam, menatapku nanar. Oh, dia sedang dalam pengaruh hipnotis Theo rupanya. Theo yang sudah puas menghisap darahnya tersenyum padaku lalu kembali menghisapnya lagi.

"Hentikan, Theo!" bentakku.

Theo menghentikan aksinya, menatapku lalu terkekeh geli. "Kenapa? Karena Dave tidak menghisap darah, aku pun juga harus begitu?" Aku terdiam mendengar pertanyaannya.

Theo mendorong perempuan itu menjauhinya, karena tidak berdaya, perempuan itu terjatuh dengan posisi miring di aspal yang becek. Aku menunduk melihat perempuan itu dengan posisi yang mengenaskan, tentunya.

"Kenapa?" tanyanya lagi. Aku menoleh menatap Theo.

Aku menggeleng pasti padanya. "Karena kau mencintaiku, Theo." Aku langsung mendekap mulutku. Aku tidak tahu apa yang kukatakan barusan. Aku tidak tahu kenapa bisa mengatakan itu.

"Sial!" gumamnya yang langsung melesat pergi meninggalkanku.

Aku segera berlutut dan meraih perempuan itu ke pangkuanku. Dia masih terdiam, tentu saja dia belum terlepas dari hipnotis Theo. Rambutnya yang pirang sebahu ternoda oleh darahnya sendiri, walaupun tidak banyak.

Aku membawanya untuk menyender pada tembok di dekatnya, menyenderkan tubuhnya ke belakang. Mendekap wajahnya dan mulai menatap matanya. Kelebihan menjadi vampire yang paling kusukai adalah bagian menghipnotis. Semua vampire bisa melakukannya. Tapi aku jarang menggunakan hipnotisku pada orang lain.

Aku menggigit pergelangan tanganku, darah langsung mengalir dari bekas gigitanku. Aku mengarahkan pergelangan tanganku ke dalam mulutnya, sementara tangan kiriku aku gunakan untuk membuka mulutnya.

"Minumlah." Dia menelan darahku, perlahan bekas gigitan Theo yang melebar itu semakin menutup. Satu lagi kelebihan dari vampire, darahnya bisa menyembuhkan luka apapun.

Aku mulai memfokuskan tatapanku pada perempuan yang masih terdiam ini. "Berbicaralah." Ucapku menggunakan hipnotisku.

Perempuan itu terlihat panik dan seperti orang ketakutan setelah melihatku. "Hei. Tidak apa, aku bersamamu." Aku memeluknya dalam dekapanku, dia pun ikut memelukku.

Aku mendorongnya pelan untuk melepaskan pelukannya. "Siapa namamu?"

"Lizbeth." Jawabnya.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku.

"Aku habis dari supermarket." Aku menoleh pada kantong putih yang isinya berserakan. Lizbeth seperti mengingat sesuatu, tak lama dia kembali histeris dan teriak kepadaku. "Taring itu... Matanya merah... Apa dia vampire? Tanyanya dengan raut wajah yang ketakutan.

Aku tertawa. "Tidak ada yang namanya vampire, Lizbeth." Bantahku.

"Ta-tapi." Ucapnya.

Aku mendekap wajahnya kembali menatap matanya lagi. Aku meyakini apa yang akan kukatakan. "Kau terjatuh, dan kau tidak sadarkan diri," aku mengambil helai rambut Lizbeth yang terkena darahnya.

"Dan ini, ini adalah saus tomat yang terbuka karena kau menindihnya ketika terjatuh." Ucapku. "Pulanglah, mandi dan lupakan kejadian ini." Aku melepas kontak mataku pada Lizbeth.

Lizbeth mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu terlihat bingung menatapku. Dia bangkit dari duduknya dan memberesi belanjaannya yang tercecer. Aku hanya melihati aktivitasnya.

"Aku ceroboh. Maafkan aku. Aku harus pulang dan mandi, bajuku basah," dia mendengus."Dan rambutku terkena saus." Ucapnya lalu tersenyum padaku. Dia pamit dan segera berjalan pergi dari hadapanku.     





***





Remember to

Vote

and

Comment

Frozen Vampire (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang