Sembilan Belas

6.2K 369 0
                                    


Author's pov

Ally berlari ketika melihat Theo di sekolah hari ini, dia harus memperingatinya agar tidak melakukan seperti yang semalam di kotanya. Tidak mempedulikan lawan bicara Theo, Ally menarik lengan Theo, dengan maksud agar dia mengikutinya.

Beberapa murid memperhatikan Ally yang seenaknya menarik – narik Theo. Sekali lagi, dia tidak peduli. Ally membawa Theo menuju atap gedung sekolahnya, tempat sepi yang jarang dikunjungi murid lain.

Ally melepaskan lengan Theo setelah sampai di atap, melipat tangannya di dada sambil menatap Theo dengan tatapan tajamnya. Theo meringis karena tahu arti tatapan itu. Tatapan yang sering diberikan Ally ketika ia sedang tidak menyukai sesuatu atau perbuatannya.

Theo menjambak rambutnya frustasi melihat Ally yang masih menatapnya tajam. "Kenapa kau melakukan itu, Theodore?" Theo semakin merinding mendengar Ally bertanya dengan nama panjangnya.

"Melakukan apa?" Tanyanya dengan polos. Walau masih merinding, Theo berpura – pura tangguh dengan menyunggingkan senyuman miringnya.

Ally tertawa hambar. "Kau tidak boleh melakukan itu," Ally mendorong bahu Theo dengan jari telunjuknya. "Tidak di kotaku." Ucapnya sambil menggeleng.

"Tapi ini kotaku juga, Ally." Protesnya.

Ally mendecak frustasi, dia benar juga. Theo tinggal disini, dia bersekolah disini. "Apa sih yang kau inginkan?!" bentak Ally dengan kesal.

Theo mendekatkan tubuhnya pada Ally. Semakin mendekat, semakin pula Ally melangkah mundur, menjauh. Sial! Ally merasa tertekan dan juga merasa, bergairah? Ally memejamkan matanya saat merasakan nafas Theo di wajahnya.

"Kau!" bisik Theo di telinganya. Ally merinding mendengarnya. Dia merasakan gelenyar aneh pada dirinya. Seperti yang dirasakannya dulu pada saat Ally mencintai Theo dengan perasaannya.

Ally menggeleng, dia kembali memejamkan matanya. Dan tanpa dia sadari, air matanya mengalir, membasahi pipinya. Dia tidak boleh kembali merasakan perasaannya pada Theo. Dia tidak boleh menyukai Theo lagi.

Ally membuka matanya, menatap Theo tajam dengan matanya yang mengkilat merah. Ekspresi yang ditunjukan Ally adalah sedih tapi bercampur amarah. Ally kembali mendorong Theo dengan telunjuknya. Kali ini, Ally menunjuk dada Theo berkali – kali.

"Kau. Sudah. Membunuh. Pacar. Ku!" ucap Ally dengan penekanan pada setiap katanya. "Dan kau dengan seenaknya ingin membuatku menjadi milikmu lagi?" tanyanya sambil tertawa hambar.

Theo terdiam, Ally benar. Dia sudah membunuh orang yang sama sekali tidak pantas untuk dibunuh karena kecemburuannya. "Welcome to Karma Cafe. There are no menus. You get served what you deserve." Batin Theo. Dia tertawa dalam pikirannya sendiri.

"Kukira kau sudah memaafkanku." Ucap Theo. Dia menatap Ally tepat dimanik matanya.

Lagi – lagi Ally tertawa. "Forgiving is not forgetting. It is about letting go of the hurt, so that you can move on." Ally berjalan menjauhi Theo menuju pintu besi.

Ally melirik Theo dari balik bulu matanya. "Theodore." Ucapnya lalu meninggalkan Theo yang terdiam diri menatap kepergian orang yang sangat dicintainya.

***

Ally berjalan dengan gusar menuju toilet perempuan sambil sesekali mengusap pipinya, memastikan jika air mata sialan itu sudah benar – benar hilang dari wajahnya. Sial! Theo memang benar – benar brengsek. Bisa – bisanya dia berkata seperti itu padanya.

Tapi dia tidak bisa terus seperti ini, menyalahkan takdir yang sudah ditulis dengan rapi untuk jalan kehidupannya. Disatu sisi dia benci Theo karena sudah membunuh Cole. Tapi disatu sisi, Cole benar, itu sudah takdirnya.

Ahh, dia benci sekali kehidupannya sekarang. Ally melepas cincinnya dan menaruhnya di wastafel terlebih dahulu, sebelum akhirnya membasuh wajahnya dengan air yang mengalir langsung. Ally menatap seorang perempuan di dalam cermin. Dia terlihat sama seperti dulu, tapi sebenarnya tidak sama.

Ally membasuh wajahnya sekali lagi. Setelah dirasanya sudah cukup, Ally mengambil cincinnya. Suara pintu dari salah satu bilik toilet yang terbuka tiba – tiba membuat Ally kaget bukan main. Dia bahkan membuat cincinnya terjatuh.

Panik. Satu kata untuk mewakili ekspresi Ally saat ini. Sial! Dia tidak boleh kehilangan cincin yang sudah dipakainya seumur hidup. Ally mencari – cari cincin yang terjatuh tidak tahu kemana. Ally terus berputar – putar seperti kucing yang mengejar ekornya sendiri.

Orang yang ternyata keluar dan mengagetkannya tadi ternyata adalah Joanne. Joanne menatap bingung Ally yang terlihat panik. Sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Joanne memperhatikan Ally yang terlihat sedang mencari – cari sesuatu.

"Kau cari apa?" tanya Joanne.

Ini adalah kali pertama Joanne mengajak Ally berbicara. Sebenarnya sudah lama sekali ia ingin mengajak Ally berteman atau berbicara sejak ia pindah ke sekolah ini, tapi melihat sikap Ally yang dingin dan masa bodo, membuatnya mengurungkan niatnya itu.

Ally menoleh pada Joanne, rambut panjangnya ia selipkan ke belakang telinga karena mengganggu pemandangannya. "Cincin. Kau lihat?" ucapnya singkat lalu kembali mencari bendanya.

Joanne menggeleng. Saat ingin berjalan, ia merasakan sepatunya menginjak sesuatu. Ia mengangkat kaki kanannya, dilihatnya sebuah cincin batu berwarna biru tua dengan ukiran pada besinya. Ia membungkuk dan mengambil cincin itu.

Joanne memperhatikan ukiran – ukiran yang tertulis pada cincin besi yang kini sudah ada digenggamannya. Ia yakin jika ini adalah cincin yang dicari oleh Ally dari tadi. Masih memperhatikan cincinnya, Joanne memanggil Ally.

Ally menoleh. "Ini cincinmu, bukan?" tanyanya lalu menatap Ally setelah puas memperhatikan cincinnya.

Ally maju menghampiri Joanne yang langsung memberikan cincinnya pada Ally. Wajah Ally berbinar setelah menemukan cincinnya. Tanpa aba – aba, Ally memeluk Joanne dengan erat hingga gadis Latin itu kehabisan nafasnya. Ally baru melepaskan pelukannya setelah ia menggumamkan terimakasih.

Ally langsung memakai cincinnya pada jari manis tangan kirinya. "Aku bisa terbakar jika kehilangan cincin ini." Ally langsung terdiam setelah tahu jika ia keceplosan. Joanne mengerutkan dahinya bingung. Ia tidak mengerti dengan ucapan Ally.

Dalam hati, Ally mengutuk dirinya sendiri. Sial! Dia benar – benar bodoh, bisa – bisanya keceplosan seperti tadi. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada Joanne. Masa harus bilang seperti ini, 'Aku vampire. Aku akan terbakar matahari jika tidak memakai cincin ini. Cincin ini sudah dibuat khusus oleh leluhurku, kau tahu?' tidak mungkin dia berkata seperti itu.

Seakan mendapat bohlam yang menyala terang diatas kepalanya, Ally tersenyum dalam pikirannya sendiri. Ally menatap Joanne yang masih menatapnya bingung. "Maksudku, aku bisa terbakar di api neraka jika aku menghilangkan cincin warisan nenekku." Ucapnya lalu tersenyum, Joanne mengangguk.

Lalu keadaan hening seketika. "Apa nama batu itu?" tanya Joanne akhirnya memecah keheningan.

Ally menunjukkan cincinnya pada Joanne sambil memegangnya. "Lapus lazuli." Ucap Ally singkat. Joanne hanya mengangguk mendengar ucapan Ally yang sangat singkat.

"Bisakah kita mengobrol di luar?" tanya Ally. "Rasanya aneh mengobrol di toilet."Ucapnya lalu tertawa. Joanne tersenyum lebar, ternyata Ally tidak sedingin dan secuek yang terlihat.





***





Remember to

Vote

and

Comment    

Frozen Vampire (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang