Stasiun Rindu

150 15 0
                                    

[Thu, July 21st 2016

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Thu, July 21st 2016. 11:11 p.m]

Peron-peron stasiun berdiri tegak membatasi antara pisah dan temu,
Melayangkan nada syahdu saat peluit kereta datang untuk menyambut sekoper rindu.
Tergerai sudah roda-roda bising yang berderit roman melankolis sendu.
Bersama sisa kenangan yang masih merekat di dinding stasiun,
Terkepung sudah perasaan kian melapuk saat menunggu elegi temu dan pisah beradu menjadi satu.

Ingin hati menjelma menjadi atap kereta,
Agar sebongkah rindu ini dapat melihat dengan jelas hulu dari segala rindu yang ada.

Rindu ini,
Yang hadir serta dipupuki jarak hingga kian hari kian subur terpatri.
Rindu merajuk pada temu juga waktu yang tak pernah berpihak padanya utuh.

Decitan pintu kereta membuat rasa bercampur asa membuncah di dada,
Seolah melompat kecil seperti tidak sabar untuk dijamah.
Bagai seorang anak kecil yang menarik baju ibunya ketika tertarik akan sesuatu,
Decitan itu menyerahkan rindu pada tuannya.

Setetes.
Dua tetes.
Hingga berderai air mata mengalir deras di pipi,
Sudah tak terbendung lagi gelitikan genangan yang menggantung sembabkan mata ini.
Sebab pendar nelangsa telah melihat sosok rindu melangkah keluar dari pintu yang telah menjadi penghalang di antara titik temu.

Sorotan tajam mata itu masih sama seperti terakhir bertemu dulu,
Lekungan senyum itu selalu hadir dalam mimpi kelu saat malam menggantikan lengan rindu untuk memeluk tubuhku.

Rindu itu mengambil alih ragaku; memaksanya untuk bergerak.
Rindu itu memonopoli langkahku; terlalu cepat langkah ini menghampirinya.
Rindu itu mengambil alih kerja tanganku; tangan itu mendekap sosoknya tanpa ragu.

Hangat,
Tubuhku menghangat,
Jemariku gemetar sampai putih memucat.
Pada akhirnya rindu itu mendapatkan yang Ia mau; rumahnya.

Peluit kereta kembali bersiul, asap pekat mulai membumbung memenuhi lorong.
Dan perlahan memudar tertelan hiruk pikuknya keramaian.

Namun tubuhmu ikut memudar,
Raga yang kupeluk semakin mengikis perlahan.

Aku kebingungan.
Aku kehilangan arah sampai terjuntai dalam luka yang telah membisu.
Aku masih berusaha menyusun kembali kepulan asapmu namun sia-sia.

Kau hilang,
Kehadiranmu tak pernah ada.
Bahkan imajinasiku di lorong ini tak mampu mempertahankanmu.
Aku hanya termenung ketika sembilu kembali mengiris langit yang tersedu,
Bahwa rindu ini akan selalu mengudara dalam peron-peron stasiun.

Ia tak pernah bertemu dengan tuannya.
Tak akan pernah.
Sampai kapan?
Entahlah.

—Rizka Rosa, Tamara Sarlita, Sunshine, Licky, Ahmad Sulton.

rizkarosa | tatamaraaa | AhmadSulton_G

Siluet Kata KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang