CLARA
Rinai membuat kemacetan semakin menjadi, diiringi bunyi klakson bersahutan dari semua kendaraan yang ada. Mayjend Sungkono, jam lima sore, dan tetesan air dari langit. Sungguh kombinasi yang sangat pas untuk sebuah kemacetan tanpa akhir. Jalanan tak bergerak seolah sedang berada di mode pause dalam video game. Telunjuknya berhias nail art mengetuk roda kemudi berirama mengikuti musik dari radio, rambut panjang itu menjuntai di samping wajahnya yang penuh sentuhan warna-warni make up namun nampak alami.
Bibir cantiknya mengumpati mobil yang tak kunjung bergerak semilipun sejak dua puluh menit lalu. Dia harus tiba di apartemen yang hanya berjarak sepelemparan batu dari tempatnya kini tepat pukul enam nanti, tapi lihat saja sekarang. Sungguh, bahkan tanda parkir sudah beberapa meter saja didepan mobilnya dan Clara masih terus mengumpat di kursi kemudinya yang empuk berlapis kulit. Apa saja sih kerja pemkot selama ini, pikirnya kesal.
Dan setelah lima belas menit bergumul dengan hujan dan macet, akhirnya Clara bisa masuk ke basement apartemen tempatnya menemui seseorang malam ini. Seorang klien yang tak bisa diabaikan begitu saja mengingat betapa potensial dirinya.
Untuk semalam ini, dia akan disibukkan dengan melayani sang klien meski itu artinya Clara harus menuruti apapun permintaannya.
ALEX
Ya Tuhan, ini bohong kan? Bukankah selama lima tahun ini kami baik-baik saja, kenapa semua jadi begini? Aku mencintainya sebesar dia mencintaiku, kulakukan apapun untuknya meski kami terpisah jarak, apa saja, Tuhan! Apa rencanaMu sebenarnya? Aku tahu, aku sadar betul kami tak akan pernah bisa bersama, aku paham perintahMu. Bukan berarti lantas aku berhak menerima kenyataan bahwa wanita yang selalu kucintai dan kusebut namanya dalam doaku terlepas selamanya.
Tuhan, jika ini memang jalanku, izinkan aku membalas semua sakit hatiku. Dia harus tahu betapa aku mencintainya, mereka harus mengerti akulah yang paling tersakiti disini. Dua orang itu akan merasakan apa yang kusebut dengan balas dendam.
Ya, kuputuskan untuk membalas perbuatannya dengan caraku. Bahwa aku juga masih berhak bahagia tanpanya. Nah, langkah pertama adalah: pulang. Kembali ke Surabaya, dan memulai pembalasan.
FERDINAL
Sudah dua jam dia hanya duduk tanpa berpaling dari lalu lalang pejalan kaki di trotoar Malioboro. Aktifitas para pedagang tak bisa menembus kabut di pikirannya. Dia belum bisa memutuskan untuk bergerak atau berbuat apa setelah beranjak. Jam dua siang, dia ingat dengan hotel tempatnya menginap. Waktunya check out. Tapi, apa? Setelah ini apa yang akan dia lakukan?
Ada filsafat Sunan Ampel yang terkenal dengan 'molimo', dan tentu saja dia langgar sepenuhnya dengan bahkan disertai niat. Dua tahun terakhir dia selalu berganti perempuan tiap malam, tak segan menenggak alkohol, hobi ke Macau untuk menikmati kasino, seringkali membuat masalah dengan merebut istri koleganya, dan mengisap ganja sebagai ganti rokok yang menurutnya tak lebih manis dari permen.
Dan seorang Ridwan Ferdinal Ray masih juga bingung kenapa dia disini saat ini, duduk sendiri di emperan toko sepatu dengan tatapan kosong. Bukankah dia lakukan semua dosa itu agar Tuhan marah dan mencabut nyawanya, tapi sebaliknya yang terjadi. Dia hidup, sehat, masih saja punya banyak uang tak peduli apa saja yang dia beli.
Tuhan brengsek. Dosa gua udah banyak napa masih perpanjang kontrak juga? Gua cuma mau cepet mati biar bisa langsung protes ke elu, sialan! Gua cuma mau ketemu elu! Lu berantakin hidup gue, lu ambil semua yang gue punya, trus sekarang lu sisain satu. Buat apa, hah?!
Keparat!!!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Re: Start!
General FictionClara, akuntan sebuah hotel yang menerima 'panggilan'. Alex, mahasiswa S2 yang patah hati dan melarikan diri dari kenyataan. Ferdinal, eksekutif muda dengan segala trauma di masa lalunya. Bertiga, mereka menjalin pertemanan dengan masalah dala...