FERDINAL
Pikirannya kosong saat membuka kemasan sosis dan memasukkan semuanya sama seperti Alex yang menggoreng seluruh nunggetnya. Masih terlalu kaget dengan amukan Alex. Dia tadi hanya memperagakan bagaimana ekspresi marah, bukan betulan marah. Tapi tetap saja, marahnya orang yang humoris jauh lebih menyeramkan dari film horor Thailand. Belum lagi segala umpatan untuknya, Alex bahkan selalu bicara halus tak peduli dengan siapa. Rupanya dia tahu cara mengumpati orang. Dibilang cowok mesum juga. Mengerikan!
Mematikan kompor dan meniriskan gorengannya diatas tisu, Ferdinal diam sejenak sebelum pergi menyusul Alex. Jeritan Clara terdengar nyaring, kembali mengagetkannya dan membuatnya terlonjak. Segera ia ke ruang tengah, melihat Clara histeris di depan foto Mika dan dirinya empat tahun lalu di taman depan Eastern Median Apartment.
"Dik, masa ini ayahmu sih? Aku lebih percaya kalo dia ibumu," kata Clara menyuapkan sosis ke mulutnya. Susah sekali meyakinkannya.
"Berapa kali sih harus aku bilang? Itu Mika, Kak. Kalo Mamaku pakai hijab, nggak pernah kelihatan rambutnya."
"Tapi...tapi aneh, Dik! Masa laki-laki cantik banget gitu? Cantiknya nggak normal."
"Mika cuma photogenic, aslinya ya nggak secantik itu. Dia kurus soalnya sakit, makanya kamu bisa bilang dia langsing. Itu aja."
"Ferdi."
Si empunya nama menoleh ke kiri. "Apa? Bukannya lu juga awalnya nggak percaya Mika laki-laki, Lex?"
"Itu dulu. Bukan itu yang mau aku tanya."
"Apaan?"
"Mika itu nama ayahmu kan? Kenapa nggak kamu sebut dengan panggilan untuk ayah? Papa misalnya, kan kamu bisa panggil ibumu dengan sebutan 'Mama'."
Kunyahan nungget di dalam mulut Ferdinal terhenti tiba-tiba, dadanya seakan sesak karena diremas kuat-kuat. Napasnya tak teratur, sakit yang teramat sangat mendera batinnya, kembali tersiksa oleh penyesalan. Lebih menyakitkan lagi sebab Alex menyadarinya. Disaat beginilah kepekaannya berguna.
"Nggak sempat," jawab Ferdinal pelan. Masih berusaha bernapas normal.
"Kamu kangen sama beliau kan?"
Jika bibirnya bisa berkata seperti beberapa detik lalu, ia pasti memohon agar Alex berhenti bertanya tentang Mika. Nyatanya kini tenggorokannya tercekat, suaranya enggan keluar. Ia menelan nugget secara paksa.
"Berhubung aku nggak bisa lihat Elif disini, kita main aja gimana?"
Justru karena supaya terhindar dari sinetron impor itulah Ferdinal kemari. Alex mengeluarkan kunci mobilnya yang hampir tenggelam oleh boneka figur anime, melepaskannya dari gantungan, dan meletakkannya di meja. Dia berpindah posisi, duduk dilantai dan menatap Clara serta Ferdinal bergantian.
"Aturannya gampang," ia memutar kunci hingga berhenti dan kebetulan menunjuk Clara. "Lihat kan? Ini cuma percobaan. Nah, siapa yang ditunjuk kunciku nanti dia berhak bertanya apapun pada orang yang dia pilih. Jawabannya harus jujur. Nggak boleh bohong atau mengalihkan pembicaraan. Setuju?"
Anggukan dari Clara tak bisa langsung diikuti Ferdinal. Barulah ia mengangguk saat Alex memanggil namanya. Giliran pertama jatuh pada Alex, sasaran pertanyaannya Ferdinal dan Clara.
"Untuk Clara, kesan pertama kamu ke Ferdinal gimana?"
Semua yang ada di ruangan itu menyadari wajah Clara yang merona dan malu-malu menatap Ferdinal. Ia tampak enggan jujur.
"Kesan pertamaku ke Didik itu... Gimana ya? Aduh, pokoknya dia tipeku deh. Cowok yang 'aku banget' lah," jawabnya sambil menutupi wajah dengan bantal sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Re: Start!
General FictionClara, akuntan sebuah hotel yang menerima 'panggilan'. Alex, mahasiswa S2 yang patah hati dan melarikan diri dari kenyataan. Ferdinal, eksekutif muda dengan segala trauma di masa lalunya. Bertiga, mereka menjalin pertemanan dengan masalah dala...