19

98 5 0
                                    

CLARA

"Say, aku cuma tanya aja nih ya. Kamu jangan tersinggung atau merasa apapun," Clara memutuskan bicara mengenai hal yang tak bisa berhenti dipikirkannya beberapa hari terakhir pada Chika.

"Apaan? Nanya aja lagi," balas Chika yang menyeruput es jeruknya. Sepiring nasi padang telah tandas didepannya menyisakan sepasang sendok serta garpu.

Clara menghela napas, tak bersemangat. "Seandainya kamu anak haram, kira-kira... Gimana ya? Aku susah ngomongnya. Pokoknya gitu deh. Ngerti kan?"

Sebelah bibir Chika terangkat, mencibir pertanyaan Clara yang tak jelas maksudnya. Tumben bahas anak haram segala.

"Kalo aku terlahir sebagai anak haram, ya udah. Terima aja. Aku mana bisa milih bakal dilahirkan sama siapa, secara normal apa caesar, keluarga harmonis apa sebaliknya. Tinggal dijalani, mau hidup kayak apa. Gitu kan? Ah, ribet amat."

Opini sederhana dari seorang Chika. Secara teori mungkin memang seperti itu, namun kenyataannya yang Clara rasakan berbeda. Atau setidaknya yang Clara kira dari Didik. Ucapannya malam empat hari lalu masih menancap kuat diingatannya, bagaimana wajah yang hampir tak pernah menampakkan emosi berlebih itu terlihat muram dan tertekan walau tersamarkan oleh senyuman. Berat sekali sepertinya.

"Clara?," Chika mengayunkan sendok dihadapan Clara, yang sedetik kemudian kembali ke kenyataan.

"Ah, iya. Napa, Say?"

"Eh nanya. Kamu tuh ngelamun! Lagian, kamu juga kenapa pake tanya soal anak haram segala...," seperti menyadari sesuatu, Chika memperhatikan sekeliling dan mendekati telinga Clara. "Kamu nggak hamil kan?"

"Yang bener aja!!"

Reaksi berlebihan itu diartikannya tidak.

"Nggak mungkin lah aku hamil. Bisa repot banget aku. Haduuuh, amit-amit deh, Say," Clara mengetuk meja dan perutnya bergantian.

"Speak of which, aku nerima lamarannya Roy."

Aneh. Sama sekali tidak ada nada bahagia yang terdengar dari kalimat barusan. Atau telinga Clara yang masih tak bisa peka karena ucapan Didik?

"Perasaanku atau emang ya? Kamu ngomongnya kok datar banget?"

"Ya terus aku mesti gimana?"

"Ya ampun, Chika. Orang nerima lamaran kan lazimnya bahagia, bukannya kayak bilang 'gajiku bulan ini turun' begitu. Kamu kan bukannya dijodohin, yang hepi dong."

"Entah ya. Aku sendiri sebenarnya masih kurang sreg, cuma modal nyambung aja sama Roy. Dia sendiri juga nggak kelihatan bahagia kok, kenapa aku mesti 'kelihatan bahagia'?"

Dasar dia ini. Clara tahu, semakin Chika berbelit-belit saat bicara maka semakin jelas perasaannya.

"Nanti aku tidur di apartemen kamu ya, Beb. Kangen bonekamu."

Tunggu. Malam ini kan jadwalnya Alex nonton Uttaran sama Elif, Didik pasti mengungsi entah kemana. Dan seingatnya, ia menjanjikan kamarnya sebagai pengungsian malam ini. Chika tidak boleh tahu kalau dia punya kenalan cowok ganteng nan kaya raya.

"Langsung bareng aja pulangnya?," tanya Clara memastikan. Batinnya berdoa semoga Chika pulang kerumahnya terlebih dahulu.

"Nggak, pulang dulu ambil baju sama beli cemilan. Kayak biasa."

Baru sekarang Clara bisa mengucap syukur setelah sekian lama. Bagus, itu artinya Didik bisa ia usir sebelum Chika datang. Makin bagus lagi kalau dia terus sholat di masjid nggak balik-balik. Segera ia mengabari yang bersangkutan, namun hingga jam pulang kantornya masih belum terbaca juga.

Re: Start!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang