FERDINAL
Ferdinal menutup matanya rapat-rapat, lidahnya kelu setelah mengucapkan apa yang paling dia benci. Berkali-kali, bahkan ribuan kali ia meyakinkan diri bahwa dirinya baik-baik saja. Tak ada yang salah, dia bukanlah barang haram seperti istilah tersebut. Jikapun ada yang haram, itu adalah perbuatan orangtuanya yang tak pernah terikat dalam pernikahan. Mikael August Ray dan Jacqueline Anima Alkatiri, berkat mereka berdua dirinya terlahir dengan semua masalah yang tak akan pernah ada penyelesaiannya.
Tangannya meraba tengkuk dan terus ke leher dan bahunya, merasakan kehangatan yang tersisa dari dekapan Clara lima menit lalu. Hanya bersimpati, tak lebih. Mungkin gadis itu hanya kaget bahwa Didik si marbot masjid apartemen yang selalu sholat tepat waktu ini anak diluar nikah. Clara kembali ke kamarnya dengan wajah yang tak bisa digambarkan Ferdinal sebagai ekspresi apapun. Bukan pembicaraan yang menyenangkan memang untuk didengar.
Dikamarnya, yang penuh potret kenangan di seluruh dinding, Ferdinal hanya meringkuk di samping ranjang. Ingatannya datang silih berganti, sejak ia kanak-kanak hingga dua tahun lalu. Semuanya, tanpa terkecuali. Bagaimana saat ia bertemu ibunya pertama kali setelah tiga tahun hidup terpisah, bagaimana keras dan disiplin pendidikan agama dari kakek dan neneknya di pesantren, serta cara mereka memandangnya. Ferdinal tahu jika orangtua ibunya tak pernah benar-benar menerimanya, selalu membicarakannya dibelakang bagai tetangga usil yang sirik.
Dan dari semua ingatannya, kenangan paling menyakitkan menyeruak ke permukaan begitu saja. Dia tidak lupa, tidak akan pernah melupakan begitu saja apa yang dia alami sepuluh tahun pertama hidupnya.
*
Suasana rumah besar itu ramai oleh hiruk pikuk kegiatan persiapan tujuh hari meninggalnya putri tunggal keluarga besar Alkatiri. Pemilik sekaligus pengasuh pondok pesantren dan kepala keluarga Alkatiri, Jufri Alkatiri, hanya sesekali mengecek perlengkapan. Ferdinal, baru saja lulus SD di usianya yang kesepuluh, dibawa oleh wanita yang selalu dipanggilnya Ibu. Dia kakak ipar ibunya yang meninggal seminggu lalu.
Ferdinal tidak terlalu dekat dengan ibunya karena hampir selalu dipisahkan, alasannya sang ibu masih harus kuliah dan dia ikut keluarga pamannya di Mesir. Walau masih satu negara, ia jarang bertemu ibunya. Sang ibu berkuliah di Kairo sementara ia dan keluarga pamannya tinggal di Alexandria. Dalam masa kecilnya hampir normal kecuali beberapa hal yang memang bermasalah sejak awal seperti sosok ayahnya yang sekalipun tak pernah dibicarakan. Percuma bertanya karena topik itu tabu.
Dan kini setelah kematian ibunya, Ferdinal kecil hampir tidak merasakan apapun. Sedih, mungkin. Kehilangan, mungkin juga. Semua terasa samar dan tipis, bertumpuk-tumpuk. Ia pulang ke kediaman keluarga kakeknya di Malang sejak dua minggu lalu, dialah yang menemani ibunya hingga napas terakhir. Pada detik kematiannya, bahkan. Saat sebuah truk besar mengarah ke mobil yang dikemudikan ibunya dan dinyatakan tewas ditempat.
Ditengah hiruk pikuk kesibukan ia berjalan ke dapur tanpa satupun orang yang menyadari keberadaannya. Dibukanya pintu kulkas dan mengambil sebotol air, duduk bersandar di kaki meja makan. Dia bosan.
"Abi, tolong pikirkan lagi. Ridwan baru kehilangan ibunya dan Abi mau pisahkan dia dengan keluarga kita selamanya? Dia masih anak-anak, Bi. Ridwan butuh keluarga yang bisa mendidiknya."
Ferdinal beringsut dan spontan bersembunyi di kolong meja kala mendengar namanya disebut. Botol air dan gelas kosong ia peluk erat.
"Abi sudah putuskan dari dulu, jauh sebelum anak itu lahir. Sejak awal Abi memang tidak suka anak itu disini, Han. Ummi yang minta Ridwan supaya tinggal disini daripada ikut kakakmu kuliah di Mesir. Dan sekarang Jacqueline meninggal, alasannya untuk tetap disini hilang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Re: Start!
General FictionClara, akuntan sebuah hotel yang menerima 'panggilan'. Alex, mahasiswa S2 yang patah hati dan melarikan diri dari kenyataan. Ferdinal, eksekutif muda dengan segala trauma di masa lalunya. Bertiga, mereka menjalin pertemanan dengan masalah dala...