FERDINAL
Matanya mengerjap tertimpa cahaya terang dari jendela yang dibuka lebar. Satu lengannya terkunci dan berat, ada sesuatu yang menghalangi geraknya di sisi kanan. Clara? Benar juga. Sebelum tidur siang Clara masuk kamarnya dan bertanya kenapa dia jarang ada di masjid sekarang. Ia menjawab jika marbot sebelumnya bisa datang maka kehadirannya tak diperlukan.
Dan yang terjadi setelahnya masih segar dalam ingatannya. Tadi pagi Ferdinal mengatakan secara jelas perasaannya, juga mengapa ia lakukan itu pada Clara. Dia tak mau membohongi siapapun; dirinya, juga Clara. Nyatanya memang dia tak pernah bisa menghindar jika gadis itu mendekatinya, tak pernah mampu menolak pagutan bibirnya. Serta tak kuasa untuk mundur lebih jauh dan berpaling.
Sudah kepalang tanggung. Berapa kali ia biarkan dirinya terbawa nafsu? Berapa kali ia berciuman dengan Clara? Menyentuh tiap lekuk tubuhnya dengan segenap kesadaran, semua ia lakukan secara sengaja. Bahkan yang terakhir baru satu jam lalu, saat Clara mengikutinya ke kamar ini. Dengan santainya ia bermain dengan selimut, membungkus kepala gadis itu, dan menuruti apa yang dikatakannya. Ketika Clara minta Ferdinal mendekat ia akan maju, saat Clara memintanya untuk mengecup bibirnya ia lakukan. Tak hanya sekali. Clara memintanya lagi dan lagi, hingga akal sehatnya terpaksa menerjang dan menyeruak disela nafsu yang tengah menguasai.
Ferdinal hampir gila dibuatnya. Betapa sulit memisahkan hasrat dan logika ketika bersama Clara. Semua selalu berakhir dengan kata 'hampir'. Hampir terbawa suasana, hampir melanggar janjinya, dan tentu saja; hampir bercinta. Mengapa segalanya tak bisa berjalan sesuai keinginannya? Ia bisa melewati yang lain dengan mudah. Teramat sangat, bahkan. Gampang saja ia menghindari alkohol dan melupakan kasino serta rekening khususnya, tak lagi mengkonsumsi narkoba juga semudah yang ia kira, tapi kenapa tidak untuk satu ini?
Karena Clara.
Karena gadis itu hadir tanpa ia minta.
Karena Clara telah membuatnya merasakan apa yang disebut dengan 'cinta'.
*
Meski paham benar menghindari Clara secara halus takkan pernah mudah, Ferdinal tetap melakukannya. Sesamar mungkin agar yang lain tidak curiga. Terutama Alex. Dia yang paling tidak diinginkannya tahu. Layaknya kini, sejak tadi Alex sesekali mencuri pandang padanya. Apalagi setelah misa, ia merasa aksinya pasti sudah terendus.
"Kamu jaga jarak lagi, Ferdi?"
Nah kan?
"Dari kemarin-kemarin juga gitu," elaknya berdusta.
"Yang ini parah. Masa kamu terang-terangan begini, nggak cerdas!"
Alex, antara dulu dan sekarang, Ferdinal lebih memilih yang dulu. Saat batinnya masih kacau dan sikapnya polos karena linglung, bukan jadi dirinya sendiri seperti saat ini. Rupanya Alex yang asli blak-blakan dan tak punya sungkan dalam hal apapun.
"Kamu," lanjut Alex, "kalau mau menghindari Clara, mestinya yang bener dari awal. Bukannya maju mundur kayak Syahrini gini oi! Yang aku lakukan waktu kasus Say dan Max itu contohnya. Masa gitu aja nggak bisa?"
Itu sih melarikan diri namanya, Ferdinal hanya bisa protes dalam hati. Clara sedang membeli makan malam sementara Merry pulang tadi sore.
"Susah, Lex. Ada aja godaannya yang bikin maju terus, dan disaat yang sama gua juga harus mundur. Bingung mesti ngapain kalo ada Clara."
"Too sweet to forget. Habis makan kita karaoke di tempat biasa. Itu Clara kayaknya, siapin piringnya."
Keduanya beranjak dari depan tv dan makan sambil sesekali diselingi obrolan. Kebanyakan dari Clara, hanya dua kali Ferdinal menanggapi. Fokusnya kali ini hanya menghindar, sejauh mungkin, tanpa disadari yang bersangkutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Re: Start!
General FictionClara, akuntan sebuah hotel yang menerima 'panggilan'. Alex, mahasiswa S2 yang patah hati dan melarikan diri dari kenyataan. Ferdinal, eksekutif muda dengan segala trauma di masa lalunya. Bertiga, mereka menjalin pertemanan dengan masalah dala...