6

239 12 0
                                    

FERDINAL

Empat waktu sholat sudah Ferdinal terkurung dalam ruangan penuh orangtua -jajaran direksi pemegang saham-. Dia tak pernah suka bergaul dengan orangtua seperti mereka yang menurutnya tak pernah mengalami masa muda. Dia bosan, setengah mati bertahan melawan rasa jenuh.

"Jadi keputusan kita bagaimana?" tanyanya pada notulen.

Seorang pria berdiri membacakan hasil rapat, hanya beberapa poin saja yang berhasil menembus ke otaknya. Pokoknya cepat selesai dan keluar dari ruangan pengap bau tanah ini!

"Oke. Kesepakatan kita saya rasa sudah final. Untuk pertemuan berikutnya akan saya jadwalkan kembali. Sekian, rapat saya bubarkan. Selamat malam."

Bunyi kursi bergeser dan langkah kaki baru kali ini terdengar sangat menenangkan batinnya. Mestinya daritadi saja dia akhiri rapat menyebalkan ini, atau lain kali bisa diwakili sekretarisnya. Oh! Ide cemerlang, kenapa baru kepikiran sekarang?

"Pak, jadwal rapat berikutnya..."

"Lu aja. Oke? Gua ogah. Ntar lu kasih tau gua keputusan finalnya by phone."

Sekretaris pribadinya menelan ludah, mungkin bercampur emosi mendapati pimpinannya semena-mena begini. Pakai duduk di meja segala. Sepanjang rapat berlangsung tadi bisa dia lihat konsentrasinya entah kemana, si pemegang saham terbesar dodol dan paling benci berhadapan dengan orangtua. Padahal sehari-hari lelaki itu bisa diandalkan dalam hal apapun kecuali satu tadi.

"Mer, lu udah sholat belum? Kalo belum sholat dulu aja, ntar makan malam bareng gua," Ferdinal mengayunkan kunci motor didepan wajahnya. Ia meloncat dari meja dan menggeser pintu dengan kakinya.

"Buruan, ikut gak? Gua mau ke Ikan Bakar Cianjur, Mer," serunya.

"Nama saya Mei Ridwansyah, Pak. Bukan Merry," tukas sekretaris pribadinya setengah menggeram.

Ferdinal hanya tertawa tanpa menujukkan ekspresi tertentu. Dia lebih suka memanggil Merry karena sekretaris pribadi identik dengan wanita. Lagipula nama mereka sama Ridwan. Baginya Merry bukan lagi seorang bawahan namun sekaligus keluarga dan teman.

Di IBC pada akhir pekan seperti ini sudah pasti penuh. Area parkirnya saja dipenuhi mobil. Dan jangan suruh Ferdinal memutar balikkan motornya, situasi Bundaran Satelit arah manapun sama: macet total! Jadi, satu-satunya pilihan cuma masuk dan berharap masih ada meja kosong. Dua kursi saja cukup.

*

"Sayang, gua bawa gurame pesmol nih. Lu di rumah kan? Siapin nasi yang banyak, gua masih mau makan lagi. Oke? Yok, bye."

Merasakan tatapan heran dari sampingnya, Ferdinal menjelaskan untuk siapa gurame pesmol yang dibungkus ini. Orang yang belakangan sering dipanggil sayang oleh bosnya.

"Pak Ferdinal punya pacar?," Merry bertanya dengan hati-hati.

"Gua pantang pacaran, Merry. Lu ingat itu."

"Terus yang barusan siapa?"

"Kok nanya. Ya suami gua lah!"

Ferdinal tahu ucapannya pasti ditanggapi secara aneh dan ditelan bulat-bulat. Bodo amat, hidupnya bukan urusan orang lain. Mereka berhenti di depan TVRI untuk menurunkan Merry. Ferdinal lebih suka berkendara dengan motor, sudah pasti karena lebih ramping dan ringkas. Bermobil di daerah barat sama saja dengan menyerahkan separuh umur pada kemacetan secara sukarela.

Putar balik di depan West Median Apartment, ia masih mencari celah untuk masuk ke bangunan berlantai dua puluh itu. Macetnya daerah ini kalau mau menghitung pasti lebih dari 3000 episode sinetron yang ditonton ibu-ibu tiap hari. Sebenarnya dia malas keluar kalau bukan benar-benar ada keperluan.

Motornya diparkir sembarangan didepan masjid basement Tower A dan segera berlari menuju lift barang ke lantai 15. Guramenya keburu dingin. Begitu bel berdenting dia berlari lagi dan serta merta menyentakkan pintu kamar 1509.

"Assalamu'alaikum! Sayaaaang, gurame pesmolnya datang nih!" teriaknya gembira, berlari menyusuri koridor hingga ruang tengah.

Seorang lelaki menjulurkan kepala yang lantas didekap erat oleh pemilik kamar. Pipinya digosokkan ke rambut lelaki itu dengan manja.

"Yeobo1, gua bawa gurame gede lho! Ayo makan!," nada bicara Ferdinal sangat berbeda dibandingkan beberapa menit lalu saat bersama Merry. Aura manjanya kental.

"Hee, ini ya gurame pesmol legendaris yang aku baca di internet? Gede banget. Mahal ya?" pemuda berwajah manis itu membuka bungkusan dan menatap Ferdinal segan.

"Biasa aja. Gak sampe cepek kok."

Itu muahal buat aku, Ferdinal.

"Yeobo, ayo dimakan. Lu gak tau kan gimana perjuangan gua bawa gurame kesini? Uuuugh, masa dari bundaran Mayjend sampe sini aja hampir sejam? Gila banget deh..."

Pemuda itu tersenyum memaklumi polah tuan rumah yang bawel. Kebetulan dia lapar dan ada seekor ikan berbumbu menggoda iman dihadapannya. Jadi, anggap aja rumah sendiri.

"Itadakimaaaaasu2!."

*

Kadang, tinggal di tempat yang nyaman itu membosankan. Terlalu statis. Jenuh di apartemennya, Ferdinal memutuskan menginap di hotel semalam. Kalo ditanya apa bedanya ya mungkin nggak ada juga, sama-sama lantai 15 ini. Padahal kan maksudnya ke hotel biar bisa tidur di tempat rendah. Salah pilih hotel kayaknya.

Apa boleh buat, dinikmati saja. Kapan lagi dia seboros ini, sesekali foya-foya nggak apa lah. Capek cari duit melulu.

Tok. Tok.

Perhatiannya terusik saat dua kali bunyi ketukan berasal dari depan. Rasanya dia tidak memesan apapun di room service.

Tok. Tok.

Lagi. Benar pintu kamarnya ya? Siapa yang bertamu?

"Ya?"

Eh? Dia?

"Ah, maaf Mas. Alex ada?"

Alex? Suaminya yang dirumah itu? Oooh, jadi ini ceweknya ya? Ferdinal hanya mempersilakan gadis itu masuk tanpa menjawab. Belakangan pemuda yang kini sedang menginap di apartemennya sering membicarakan tentang kenalannya yang bernama Clara. Menurut ceritanya, si Clara ini seumuran dengannya dan tipe orang yang asyik diajak ngobrol.

Clara, 25 tahun, kerja sambilan jadi 'cleaning service'.

"Mas?," gadis itu terlihat kikuk hanya berdua dan diam saja. Apalagi Ferdinal terlihat tak bersahabat padanya.

"Alex dimana ya? Aku ada janji sama dia, katanya di kamar 1509. Sebelumnya aku juga ketemu dia disini..."

"Sejak kapan?" potong Ferdinal cepat.

Kilatan kaget tersirat dalam pandangan gadis dihadapannya. "Maksudnya?," tanyanya tak mengerti.

"Sejak kapan lu jalan sama suami orang?"

Mata si gadis spontan melebar dan rasa kagetnya begitu jelas. "Suami orang? Siapa? Aku nggak lagi jalan sama cowok manapun."

Ferdinal bangkit dari kursinya dan berdiri tepat didepan wajah tamunya. Air mukanya kesal setengah mati. "Lu, berhenti akting jadi orang bego. Lu tanya suami orang itu siapa, hah?!," tanpa ia sadari suaranya mulai meninggi.

Ruangan hening, Ferdinal mengatur napas sementara gadis tak diundang itu raut wajahnya tak tertebak lagi.

"Lu denger omongan gua ya," kali ini suara Ferdinal mendesis seakan memberi peringatan sekaligus ancaman. "Alexander Soemitro yang lu cari daritadi itu suami gua!"

"What?!"

***

Re: Start!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang