13

97 6 0
                                    

ALEX

Sudah lama Alex tidak mengikuti misa Sabtu sore di gereja beraksitertur kuno ini. Terakhir kali saat kelulusan SMK, setelahnya ia merantau ke Jogja dan sekarang Swiss. Surabaya di Sabtu sore pasti jalanan padat. Terbayang olehnya sepanjang jalan Pemuda pasti penuh kendaraan, bundaran Bambu Runcing yang mengular, dan pastinya bahu jalan di area Taman Bungkul dialokasikan sebagai lahan parkir dadakan. Imajinasi yang melelahkan. Belum lagi masuk ke Jalan Adityawarman dan lurus menuju Mayjend Sungkono. Tapi sebelumnya tantangan pertama: Perempatan Bubutan.

Orang bilang persimpangan tersebut yang paling mengerikan di Surabaya. Bukan, tempat itu jauh dari kesan mistis, terlalu ramai untuk dihuni makhluk astral. Disebut demikian karena lampu lalu lintas tak peduli warna apapun kondisinya sama bagi kendaraan roda dua keatas; berhenti total dan menunggu keajaiban untuk menekan pedal gas. Lampu merah berhenti, wajar. Lampu kuning masih berhenti. Lampu hijau menyala, tetap berhenti. Yang bisa bergerak hampir leluasa hanya motor, nasib Alex dan puluhan mobil lainnya pasrah saja.

Sesuatu yang sangat dia rindukan dari Indonesia, dan Surabaya khususnya, memanglah hal ini. Tiga tahun hidup di Swiss dia tak pernah terjebak kemacetan, semua serba teratur hingga hampir monoton dan membosankan baginya. Macetnya, panasnya, makanannya, keramahan warganya, dan segala ketidakteraturan kadang bisa memicu homesick bagi siapapun yang merantau di negeri orang sepertinya. Mungkin dia harus menikmati semua ini sebelum kembali ke kehidupannya yang statis tanpa riak.

Terlepas dari jerat kemacetan, ia teringat untuk menghubungi Clara. Diajaknya gadis itu mengunjungi Ferdinal sekaligus mengenalkannya. Rasanya dia terlalu larut dalam dukacita dan belum pernah main sejak pindah kamar. Karena mereka bertiga tinggal di satu komplek apartemen, kenapa tidak bergabung dan menghabiskan malam minggu bertiga saja. Itu jauh lebih baik dari sendirian di kamar masing-masing.

Selesai urusan dengan mobil, bergegas ia ke Tower D melalui penghubung di lantai 11 tiap tower. Dari sana masih naik sembilan lantai dan kamar Clara nomor 2011. Jauh juga ternyata, Alex belum pernah ke bangunan tetangga selain Tower B dan Tower C. Di Tower B ada kamar Ferdinal sedangkan Tower C nomor 302 adalah tempat tinggalnya saat ini. Begitu sampai tujuan bisa dia rasakan kakinya kesemutan. Padahal cuma ke gedung sebelah, tapi jarak penghubungnya lebih dari tiga puluh meter.

"Kok nggak pencet bel sih? Untung aku mau keluar," Clara seolah tahu ada Alex yang kesemutan disamping pintunya dan membantunya berdiri.

"Kakiku kesemutan sih, maksudnya nanti aja kalo udah normal lagi baru mencet bel," balasnya masih bersandar dan meloncat-loncat dengan satu kaki ke arah Clara.

"Diem aja dulu, Lex. Biar ilang dulu semutnya. Eh iya, aku kok baru tau kamu punya kenalan disini? Kamarnya tower mana emang?"

"B. Kamar yang dulu kamu kesasar itu nomornya."

Perubahan wajah lawan bicaranya yang drastis tak mampu disadari Alex yang memang bukan orang yang peka dari sananya. Dia akan peka jika saja Clara bisa berubah wujud jadi Sailor Moon atau Ranger Pink. Dengan cueknya ia berjalan mendahului dan tak peduli bila Clara sedikit enggan.

Selama berjalan mereka banyak diam; Alex menikmati pemandangan malam Surabaya dan Clara berusaha menyadarkan lelaki penggila tokusatsu itu. Dua gedung terlewati, naik empat lantai, dan sembilan pintu kemudian mereka tiba di kamar 1509. Ketukan pertama tak ada respon, demikian dengan yang kedua dan ketiga.

Aneh, tadi selum kemari Alex sudah mengirim pesan Line pada pemilik kamar dan dibaca. Curiga, tangannya membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Sepasang sepatu terserak begitu saja di lantai, kaus kaki berhamburan tak jauh dari sepatu. Telapak kakinya menyentuh cairan dingin, air? Beberapa tetes air jatuh di sekitar kakinya. Mana mungkin apartemen seelit ini bocor, lagipula sudah masuk musim kemarau.

Re: Start!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang