FERDINAL
Sekuat tenaga ia berusaha menghindar, untuk terakhir kalinya, dihadapan Clara yang bercucuran airmata karena dirinya. Satu kalimat yang mati-matian ia sanggah meski itu adalah rasanya untuk gadis ini.
"Aku mencintaimu."
Terlambat.
Tak ada artinya lagi ia membuat jarak selama ini.
"Aku mencintaimu bahkan lebih dari yang pernah bisa aku kira. Akui kalau kamu juga mencintaiku, Dik. Katakan apa yang kamu rasa."
Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Clara tidak boleh menaruh perasaan apapun padanya. Dirinya yang sekarang tak pantas untuk siapapun.
"Nggak ada," dustanya.
"Bohong. Sampai kapan kamu mau begini? Ayolah, Dik! Sudah cukup aku bertahan menghadapi egomu itu. Bahkan menghadapi dirimu sendiri aja nggak bisa."
"Memangnya kenapa? Kenapa aku harus bilang sesuatu yang nggak aku rasakan?"
"Keparat! Aku dihadapanmu, dan kamu masih sempat lari? Mau sampai mana kebrengsekanmu?!"
Bukan begini harusnya. Bukan begini mau gua.
"Aku cinta kamu, belum cukup juga? Cuma itu yang aku tahu, bahwa selama mengenalmu ternyata aku menyukaimu. Sejak saat itu."
"Kamu selalu berhak dapatkan yang lebih baik segalanya dariku. Aku nggak pantas untukmu, Kak. Berhentilah mencintaiku."
"Nggak ada yang lebih baik darimu, cuma kamu yang pantas untukku. Kamu yang terbaik yang aku tahu. Dik, ayolah. Apa yang kamu takuti?"
Aku terlalu buruk untukmu, Clara.
"Aku...nggak bisa lebih jauh dari ini. Tolong, Kak. Jangan berharap apapun dariku..."
"Fuck lah! Persetan dengan masa lalumu! Aku nggak peduli berapa banyak perempuan yang kamu tiduri, sebanyak apa istri orang yang kamu rebut, atau apapun! Aku nggak masalah, Dik. Aku terima semua yang ada di dirimu. Apa masalahnya? Aku toh pelacur dan kamu tahu itu. Aku nggak pernah minta kamu nikahi, yang aku minta cuma jujurlah pada dirimu sendiri. Aku muak dengan permainanmu, Dik. Aku bosan kamu terus menjauh tanpa alasan begini."
Kini di mata itu berkelebat satu emosi: putus asa. Teramat jelas hingga Ferdinal tak perlu mengartikan gurat kesedihan dan kekecewaan mendalam diwajahnya. Masih tertatih, Clara berdiri dan menuju kamarnya.
"Kak..."
"Terserahmu lah."
Ia bergegas menyusul dan cekalannya ditepis kasar. Clara menunduk seolah menghidari tatapan yang sekian menit lalu sanggup membuat detak jantungnya lebih cepat dari biasa. Suaranya dalam dan penuh penekanan. "Pergi."
Kerongkongan Ferdinal begitu kering saat ia menelan ludah. Dadanya sesak serta nyeri tak tertahankan mendapat penolakan tegas.
"Aku pergi, Clara."
*
Sujud terakhirnya lebih lama dari biasa, pikirannya kacau dan batinnya ikut menyalahkan keputusannya. Seluruh bagian dirinya tak ada satupun yang setuju dengan apa yang ia lakukan tadi sore. Dengan satu tarikan napas panjang, ia bangun dan duduk. Konsentrasinya terpusat pada satu titik imajiner, melafalkan doa takhiyatul akhir tanpa suara di kamar ayahnya. Dua salam, ia kembali bersujud. Menenangkan gejolak perasaannya yang sama sekali tak mereda barang sedikitpun.
Semua ucapan Clara berputar kembali dalam memorinya, mengingat bagaimana wajah yang sarat air mata serta kekecewaan itu saat menghadapi kekeraskepalaannya. Ia sungguh tak tahu harus berbuat apa. Tak tahu harus bicara pada siapa. Membayangkan andai saja sang ayah masih hidup pastilah dia sudah jadi bulan-bulanan. Dengan santai mengejeknya amatir, menjatuhkannya dengan ucapan satir, namun dibalik itu ada nasihat dari pengalaman hidupnya. Mungkin karena itulah ia tidak kembali ke kamar apartemennya dan ke rumahnya di Pakis Tirtosari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Re: Start!
General FictionClara, akuntan sebuah hotel yang menerima 'panggilan'. Alex, mahasiswa S2 yang patah hati dan melarikan diri dari kenyataan. Ferdinal, eksekutif muda dengan segala trauma di masa lalunya. Bertiga, mereka menjalin pertemanan dengan masalah dala...