24

97 6 0
                                    

CLARA

Dua hari ini hidupnya tak tenang. Pikirannya kemana-mana dan tak tentu arah. Berkali-kali ia menghubungi Alex dan Didik namun tak satupun direspon. Teleponnya diabaikan, sms dan Line tak dibalas. Entah kemana mereka sejak Kamis pagi. Di hari Rabu Clara masih melihat Didik di masjid melakukan rutinitasnya, saat malam dan subuh pemuda itu juga masih mengumandangkan adzan. Dan baru paginya menghilang bagai ditelan bumi. Pada Kamis pagi, Hilux hitam metaliknya terparkir di halaman masjid dan keesokan harinya seolah ikut menghilang menyusul pemiliknya.

Clara takut terjadi apa-apa pada mereka, terutama Didik. Dia terbawa emosi dan marah padanya dua hari sebelum menghilang. Clara belum sempat meminta maaf. Dan Alex, secara aneh tak pernah mengangkat teleponnya. Sms pernah dibalas namun hanya dua kali. Entah ada apa dengan jaringan internetnya, ia hubungi via Line sama sekali tak tersambung.

Sekarang hari Jum'at jam tujuh malam. Jika besok masih juga mereka tak bisa dilacak, Clara bertekad akan melapor pada kakak Alex. Dia kan perwira polisi, pasti info darinya lebih cepat diproses. apalagi ini menyangkut adiknya. Sejauh ini yang ia tahu darinya cuma Alex memang pergi sejak hari Rabu tak tahu kemana. Dia membawa ransel kecil yang memang selalu menempel dipunggungnya kemanapun.

Udara malam yang harusnya terasa sejuk tidak bisa ia rasakan sama sekali. Nanti malam ia harus kerja lagi sementara dua tetangga lelakinya belum juga jelas kabarnya. Oke, mungkin dia berlebihan. Mereka toh laki-laki, dan dia perempuan. Jika dia yang hilang dua hari akan wajar bagi siapapun untuk khawatir. Tapi bukan Clara jika masih bisa santai dan merasakan makanan di lidahnya sementara orang-orang terdekatnya tak tahu dimana. Pantulan bulan separuh di kolam tanpa riak makin membuatnya khawatir. Untuk kesekian kalinya hari ini ia kembali coba menelepon.

Alex, Didik, kemana sih kalian? Kenapa semua nggak bisa dihubungi? Kalian kenapa? Dimana?

Bunyi deru mesin mobil spontan memutar kepalanya ke arah masjid. Clara hapal betul bunyi mesin mobil siapa itu. Halus, hanya terdengar gemanya di basement, namun garang. Mobil pick up empat pintu yang jauh lebih mahal dari mobilnya. Toyota Hilux tipe double cabin, warna hitam metalik, yang nomor polisinya ia hapal mati seperti halnya mobil miliknya.

"Oh, Clara? Heei! Ngapain disitu?"

Alex melambaikan tangan dan berseru kepadanya, sama sekali tak ada rasa bersalah telah mengabaikannya dua hari ini. Dari bangku kemudi turun seorang lelaki berambut pendek dan berbadan tinggi, mata sipitnya Clara ingat benar milik siapa. Mereka potong rambut ya? Alex pakai kacamata sekarang. Huh! Aku nggak bakal ketipu!

Dengan geram ia melangkah lebar-lebar penuh amarah, bahkan masih sempat mengambil bangkai serangga sebagai imbalan untuk Alex. Sandal refleksi yang menusuk telapak kakinya ia acuhkan, dilepas sebelah untuk Didik.

"Kemana aja kalian?," tanyanya dengan merapatkan gigi.

Sepertinya dua sasaran amarahnya menyadari benda di masing-masing tangannya. Alex dan Didik memucat ditempat, sementara Clara terus mendekat.

"Kak, stop. Taruh sandalmu dulu, baru aku jelaskan. Oke? Sandalnya dipakai ya," Didik merengek bak anak kecil.

"Cla, Clara, ayolah. Di Malang sinyalnya susah. Aku baru dapat notif Line pas di exit tol Porong tadi. Buang tamiyanya sekarang. Please," giliran Alex yang memohon-mohon kini.

"Nggak ada ampun buat kalian! Makan nih!!!"

Dua pemuda itu lari sekencang-kencangnya saat Clara melempar sandal serta kecoa dalam genggamannya kearah mereka lantas mengejar dengan kecepatan penuh. Sampai di lobby Tower A pun mereka bertiga masih saling mengejar, hingga Clara berhenti di depan lift dan tersengal-sengal. Melelahkan juga lari begini. Apalagi dalam kondisi marah dan yang ia kejar dua orang lelaki dewasa sehat fisik dan mental. Salah satunya bahkan menguasai ilmu bela diri.

Re: Start!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang