17

86 4 0
                                    

CLARA

Belakangan terasa berat saat Clara menerima pesan masuk berisikan nama klien yang memesannya. Tepatnya, semakin berat. Dengan banyak alasan dia berusaha menolak, dan sekarang ada sebab paling nyata dari semua kebohongannya; di dadanya masih ada bekas ciuman. Sepertinya Didik terlalu keras menggigit hingga terasa perih saat ia mandi. Astaga, berapa kali sudah ingatan itu memaksanya berpaling dari worksheet gaji karyawan di layar komputernya. Kemarin Clara baik-baik saja, sudah lupa sama sekali kejadian di pagi hari itu. Tapi lihat saja sekarang, tak sedetikpun fokusnya bisa terpusat pada pekerjaannya. Memangnya sebesar itukah efek bercumbu dengan seorang marbot? Sejak kapan dia semesum ini? Tahu begini lebih baik tidak usah.

Didik itu. Entah kenapa makin dia tahu semuanya makin terasa janggal. Seorang pengurus masjid punya sekamar apartemen kelas atas, apa yang menempel di tubuhnya juga bukan barang murah. Perabot rumahnya Clara tahu cukup mahal, cangkir kopi yang dia pakai kemarin per bijinya bisa mencapai lebih dari seratus ribu. Apa memang sebanyak itu gaji marbot jaman sekarang? Kok lebih banyak dari gaji akuntan sepertinya? Belum lagi deretan kemeja resmi di lemarinya yang kesemuanya bermerek impor sekelas Zara Men. Oh ya, kalau tidak salah waktu mereka ngobrol di bangku pool side Didik pakai baju putih serupa kemeja yang ia kira baju koko. Di bagian atas sakunya ada logo siluet orang berkuda warna biru... Polo!

Ya ampun! Baju sholatnya itu Polo ternyata, bukan baju koko di pasaran. Clara makin gemas tiap kali menyadari merek apa saja yang pernah Didik pakai saat bersamanya. Waktu bersih-bersih dulu kausnya bertuliskan 3Second, sandal bakpao kesayangannya itu Crocs, apa lagi yang belum ia sadari? Arloji, penanda waktu sholat yang pasti menempel di pergelangan Didik? Ayolah, Clara tahu itu G-Shock bahkan tipe yang cukup mahal dengan fitur aneh-aneh semacam GPS dan termometer segala. Matanya tak bisa melihat barang KW, jadi pasti semuanya asli.

Karena sudah malas dan tak punya mood menghadapi excel, Clara memutar lagu di earphone dan kembali mengingat benda branded yang pernah dipakai marbot masjid apartemennya. Jangan-jangan Nike Air hijau terang yang selalu ada di deretan bakiak wudhu itu miliknya? Pantofel kulit di rumahnya waktu itu kalau tidak salah Jimmy Choo. Yang benar saja! Masa sepatu marbot lebih mahal dari sepatu kerjanya. Cih! Nggak mungkin! Kecuali... Ya, kecuali dia punya 'sponsor'.

Ooh, pantas saja dia lihai memainkan tubuhnya. Ketenangannya waktu Alex datang tiba-tiba kemarin, segala benda bermereknya, kamar apartemennya. Semua cocok kalau argumennya benar.

Tapi, apa benar begitu?

*

[Pulang kerja kalau nggak ada acara nonton bareng yuk. Bertiga. Bls.]

Begitulah isi pesan Line dari Alex di tengah kemacetan Jalan Darmo. Nonton ya? Lama juga dia absen ke bioskop. Film apa yang bagus... Oh tadi Alex bilang bertiga. Artinya si Didik juga ikut. Kesempatan emas, coba lihat nanti apa yang dia pakai. Kali ini dia harus tahu siapa sebenarnya lelaki itu. Mana bisa dia dibuat penasaran begini oleh orang yang tidak jelas asal usulnya. Oke, malam ini semuanya akan terbongkar!

Setelah mengirim pesan balasan, datang lagi Line dari Alex yang menyuruhnya lewat basement Tower A dulu sebelum ke Tower D. Dia ada di masjid bersama Didik. Bagus, kebetulan dia memang ada perlu disana. Baru kali ini Clara bersemangat menghadapi macet di Jalan Adityawarman dan Mayjend Sungkono yang menggila saat jam pulang kerja. Benar-benar tak sabar untuk tiba secepatnya.

Empat puluh menit kemudian mobilnya terparkir di depan masjid, di terasnya ada Alex dan... siapa pria yang bersamanya? Sepertinya pegawai kantoran dari setelan yang dia pakai. Staf apartemenkah?

"Hai!," Alex menyapa Clara dan menepuk lantai disebelahnya. "Sini gabung. Ferdi sholatnya udah selesai kok."

Nah, mana Didik? Bukannya marbot selalu ada di masjid?

Re: Start!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang