22

89 5 0
                                    

CLARA

Sepagian adrenalinnya berpacu, bukan hanya bangun tidur sudah diberi pemandangan bagus; Didik yang bertelanjang dada sedang memakai kemeja tepat dihadapannya, tapi juga karena baru kali ini ia ke kantor dengan motor.

Pelakunya adalah Didik, yang memboncengnya dari Pakis Tirtosari ke Jalan Pemuda secara ugal-ugalan. Clara tahu kemacetan pagi hari Surabaya sudah bagai barometer kesabaran, tapi bukan berarti dia akan terbiasa jika membelah jalan dengan cara seperti itu. Didik yang menawarkan diri untuk mengantarnya, dan dia pula yang membuat Clara hampir mati. Bahkan adegan kebut-kebutan dalam sinetron masih lebih aman dari cara menyetirnya. Kasihan sekali motor bebek yang ditungganginya.

"Anu, Kak..."

Didik melepas helm dan mencekal satu lengannya. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri lalu berbisik. "Bisa aku numpang toilet nggak? Rambutku berantakan."

Emang sejak kapan rambut sarang burungmu itu rapi?

"Ayo. Ruanganku lantai tiga."

Clara tak habis pikir dengannya. Masih jam tujuh pagi dia sudah sampai di kantor, belum ada yang datang selain pegawai shift malam. Karena Didik bilang dia ada rapat penting dan Clara harus buru-buru mandi supaya menghemat waktu. Sekali lagi Clara menyesali keputusannya yang selalu mengandalkan perasaan, cuma karena bisa bareng Didik lantas dia mau. Padahal dia sendiripun menyadari, setelah ini pasti akan dibuat sebal olehnya.

"Ada gunting, Kak?," tanya Didik sekembalinya dari toilet.

Pandangan Clara terkunci pada sosok tinggi tegap nan tampan itu, mengagumi fisiknya yang sempurna dan sangat berwibawa. Tiga detik kemudian baru ia sadari bahwa sosok itu adalah si mulut jahat yang hampir membunuhnya lima menit lalu.

"Buat apa?," ia menyerahkan gunting pada Didik.

"Potongin rambutku dong, udah panjang gini susah diatur nih."

Gunting dalam genggamannya bergetar, Clara selalu tersulut emosi saat mendengar tiap kata yang keluar dari bibir yang sebenarnya menggairahkan untuk dilumat namun menjengkelkan bila bicara. Yang dibutuhkan Clara bukanlah gunting, tapi perforator agar lidah lelaki ini berlubang dan tak bisa lagi bicara menyebalkan.

"Mulut kurang ajarmu itu bisa puasa sehari aja nggak?," menahan geram, Clara meletakkan kembali guntingnya di tempat pensil.

Didik yang dalam ingatannya selalu berambut berantakan dan mengenakan baju kasual, kini tak ada lagi yang tersisa. Membuatnya harus membiasakan diri serta menanamkan sosok barunya dalam ingatannya. Pemuda itu akan bergaya parlente bila ke kantor. Rambut rapi, wajah yang segar, aroma parfum samar, serta setelan serba hitam yang membalut tubuh tingginya. Clara tahu adrenalinnya takkan bisa normal bila ada Didik didekatnya, terus merutuki dirinya sendiri. Kenapa dia harus setampan ini sih? Dan kenapa juga aku deg-degan terus tiap ada dia?

"Pantry jauh nggak? Aku mau ngopi nih."

Ya, selalu begini. Setiap kalimat yang terucap darinya akan diproses otak Clara sebagai perintah mutlak. Ia mengantar Didik ke pantry tanpa bicara dan menggandeng tangannya. Dengan alasan tidak mau Didik tersesat, katanya. Setelah jam masuk kantor, sepertinya Clara akan izin ke rumah sakit. Dia yakin ada yang tidak beres pada jantung dan otaknya hingga bersekutu mengkhianatinya, terus tak bisa bersikap tenang dan selalu jengkel pada apapun yang diucapkan Didik namun lebih menjengkelkan baginya melihat sosok itu menjaga jarak darinya.

Seperti sekarang.

Sama sekali tak ada percakapan. Didik hanya mengekor dalam diam. Clara fokus untuk meredakan debarannya yang kian keras hingga ia menduga mungkin itu penyebab kesunyian diantara mereka sebenarnya. Didik pasti bisa mendengar jelas detak jantungnya yang belum juga normal sejak bangun tidur.

Re: Start!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang